Memori Bulukumba



"Untuk kesekian kalinya saya berkesempatan mengunjungi daerah indah di nusantara. Tentunya, kesempatan ini menjadi istimewa buat saya sehingga saya harus "merekamnya" agar memori yang tersimpan tidak hilang begitu saja. Kali ini saya mengunjungi daerah yang bernama Bulukumba"

Bulukumba adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan. Daerah yang terletak sekitar 168 km dari kota Makassar ini dapat ditempuh selama lebih kurang 5 jam. Perjalanan dari Makassar menuju Bulukumba disuguhi pemandangan yang indah. Mulai dari hamparan sawah, pantai berkarang, pasir putih, tambak garam, dan pertanian rumput laut terserak sepanjang perjalanan. Karenanya akan asyik jika perjalanan dilakukan pada siang hari. 

Namun, jika terpaksa melakukan perjalanan pada malam hari, sebelum sampai ke Bulukumba dapat beristirahat sejenak di Pantai Seruni, Bantaeng. Di pantai ini, kita bisa menikmati pemandangan malam yang indah ditemani dengan minuman khas Makassar, Saraba. Minuman ini memang pas diseruput pada malam hari ditemani sejuknya hembusan angin pantai.

Penduduk Bulukumba bekerja di berbagai sektor, seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan jasa. Sektor pertanian ditopang oleh sawah. Persawahan di Bulukumba “hidup” sepanjang tahun. Ini disebabkan melimpahnya air di daerah ini. Tidak mengherankan jika Bulukumba menjadi salah satu sentra beras di Sulawesi Selatan. Sementara, perkebunan di kabupaten ini banyak menghasilkan buah-buahan. 

Di daerah Balangpesoang yang terletak di perbukitan, pohon buah-buahan lumrah ditemukan di depan rumah warga maupun di perkebunan. Hasilnya Balangpesoang menjadi penghasil durian, manggis, langsat, rambutan, dan lain-lain di Bulukumba. Menurut masyarakat jika musim buah Balangpesoang ramai dikunjungi oleh orang-orang yang bermaksud menikmati manisnya buah-buahan di daerah ini.

Di Bulukumba juga banyak ditemukan kuda, selain tentunya sapi sebagai hewan ternak penduduk. Kuda digunakan sebagai alat transportasi pengangkutan padi di sawah-sawah. Kuda membuat petani lebih mudah mengangkut padi karena kelincahan dan kekuatan kuda lebih baik jika dibandingkan sapi atau kerbau dalam mengarungi medan lumpur persawahan. Selain sebagai alat transportasi, kuda juga diambil dagingnya. Daging kuda dimasak menjadi konro ataupun coto. Dengan lemak yang rendah, daging kuda menjadi makanan yang nikmat untuk disantap. Menurut cerita warga, daging kuda Bulukumba tidak hanya dinikmati oleh penduduk lokal, tetapi juga dijual sampai ke Makassar.

Pantai Tanjung Bira, Bulukumba

























Bulukumba memiliki banyak tempat wisata. Namun, saya hanya sempat mengunjungi 1 (satu) tempat wisata saja yang memang sudah terkenal keindahannya di Sulawesi Selatan, atau bahkan mungkin di Indonesia. Pantai indah itu adalah Pantai Bira. Pantai ini memiliki pasir putih halus. Pantai ini ramai dikunjungi oleh wisatawan pada hari Sabtu atau Minggu. Wisatawan dapat berenang di pantai ini dengan nyaman karena pantainya dangkal dan berombak kecil. Berbagai fasilitas hiburan pantai, seperti banana boat dapat dinikmati oleh wisatawan yang berkunjung ke Pantai Bira. 

Di pantai Bira banyak terdapat penginapan-penginapan untuk wisatawan yang ingin bermalam. Di sepanjang pantai juga terdapat pondok-pondok yang dibuat penduduk lokal untuk berjualan makanan dan baju-baju bertuliskan Pantai Bira. Pondok-pondok itu juga dapat disewa oleh wisatawan yang ingin makan bersama dengan memanggang ikan atau lainnya. Ada makanan baru yang belum pernah saya jumpai di daerah lain, yaitu goreng pisang. Di Bulukumba makan goreng pisang ditemani oleh sambal yang pedas. Ini hal baru buat saya karena biasanya makan goreng pisang ditemani oleh kopi, bukan sambal.


Di seberang Pantai Bira terdapat pulau Liukang Loe Bira. Tidak jauh dari pulau ini wisatawan dapat ber­snorkeling ria. Karang-karang lumayan indah dapat dijumpai di sini. Wisatawan juga dapat menyasaksikan ikan-ikan saat melakukan snorkeling di pulau ini. 


Namun uniknya, ikan di sini baru akan muncul jika kita menaburkan makanan kepada mereka. Roti maupun nasi dapat mengundang kehadiran mereka di sekitar kita. Jika remah-remah roti maupun nasi habis, maka mereka akan menghilang. Di pulau ini juga terdapat “penangkaran” penyu.

Masyarakat Bulukumba
Selama saya di daerah ini hal yang saya rasakan adalah keramahan masyarakat Bulukumba. Masyarakat Bulukumba begitu menghormati tamu yang datang. Karenanya, mereka tidak segan-segan melakukan hal-hal yang dapat membuat tamunya merasa aman dan nyaman. Masyarakat Bulukumba bisa dikategorikan religius. Ini dibuktikan dengan cukup ramainya masjid-masjid yang ada di daerah ini pada saat shalat. Shalat lima waktu berjamaah dipenuhi oleh jamaah, baik tua maupun muda.

Kecintaan masyarakat Bulukumba dengan masjid dibuktikan dengan megahnya masjid-masjid yang ada di daerah ini. Rata-rata masjid di daerah ini memiliki pendingin ruangan (AC), megah, dan berhalaman luas. Tentunya dengan adanya AC membuat ibadah shalat berjamaah menjadi nyaman dan khusyu’.

Santriwati sedang menghafal ayat suci Al-Quran
Ada hal menarik yang saya jumpai di masjid-masjid Bulukumba yang belum pernah saya temukan di masjid-masjid daerah lainnya, yaitu di masjid Bulukumba ada semacam papan pengumuman donatur tetap masjid. Di papan pengumuman itu terpampang dengan jelas nama-nama donatur tetap dan jumlah uang yang didonasikan. Saat saya perhatikan, jumlah uang yang diberikan oleh donatur rata-rata tidak terlalu besar. 

Namun, tentunya dengan adanya kontinuitas dan kebersamaan nilai yang tidak terlalu besar hasilnya akan berjumlah besar. Pepatah pernah bilang dikit-dikit lama-lama jadi bukit. Nampaknya, pepatah inilah yang telah dipraktikkan oleh masyarakat Bulukumba. Hal lain yang patut diambil pelajaran adalah untuk berbuat baik tidak perlu melulu bernilai besar. Jangan malu memberikan donasi untuk masjid meskipun sedikit. Asalkan ikhlas maka ia akan bernilai besar di mata Allah.

Di Bulukumba, saya berkesempatan mengunjungi sebuah pesantren salafi penghafal Al-Quran. Di pesantren ini saya melihat generasi-genarasi muda Islam dengan giat dan sungguh-sungguh menghafal Al-Quran. Sebuah pemandangan yang membuat saya kagum dan bangga kepada mereka. Menurut pimpinan pesantren ada santri yang berhasil menghafal Al-Quran selama 2,5 bulan melalui program menghafal dari pukul 04.00 sampai pukul 23.00.



















Religiusitas masyarakat Bulukumba juga dibuktikan dengan megahnya bangunan Masjid  Islamic Center Dato’ Tiro. Nama mesjid ini diambil dari tokoh penyebar agama Islam di Bulukumba. Masjid ini selain digunakan untuk shalat berjamaah juga digunakan untuk aktivitas masyarakat. Misalnya pada hari Jumat di lantai dasar masjid ini masyarakat melakukan aktivitas jual beli. Berbagai macam barang dijual di sini, mulai dari peci, baju, tasbih, bahkan handphone pun ada di sini.[]



Posting Komentar

0 Komentar