sumber foto: bangka.tribunnews.com |
Pahala besar yang disebutkan hadits Nabi saw.
di atas akan didapatkan seorang muslim jika membangun masjid didasari oleh
keikhlasan karena Allah semata. Keikhlasan karena Allah adalah kunci pahala
berlipat ganda. Oleh sebab itu, jika seseorang membangun masjid bukan karena
Allah maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa di akhirat kelak. Sebesar apa pun
masjid yang dibangun sama sekali tidak bernilai di hadapan Allah.
Upaya membangun
masjid
Besarnya pahala yang disabdakan Rasulullah
memotivasi setiap muslim untuk membangun masjid. Hampir setiap muslim ingin
membangun masjid, meskipun itu hanya sekedar niat di dalam hati. Setiap muslim
yang mempunyai kemauan akan melakukan berbagai upaya untuk membangun masjid. Jika
diperhatikan ada beberapa upaya yang dilakukan umat Islam dalam membangun
masjid.
Pertama meminta
sumbangan di pinggir jalan. Kegiatan seperti ini bisa kita jumpai di beberapa
tempat dan daerah. Saya setiap sore, sepulang kerja, menjumpai orang-orang yang
meminta sumbangan untuk membangun masjid. Kegiatan ini tidak hanya dijumpai di
kota besar yang pasti lalu lintas kendaraan sangat ramai. Di pelosok daerah pun
ada kegiatan yang seperti ini.
Pada saat melakukan perjalanan ke Bengkulu,
tepatnya ke Curup, saya juga menemukan adanya masyarakat yang meminta sumbangan
di pinggir jalan. Saat itu, saya melihat mayoritas yang meminta sumbangan
adalah kaum hawa. Di tengah teriknya matahari dan hamburan debu jalanan serta
semburan asap kendaraan ibu-ibu itu berdiri tegak menanti sumbangan. Di tengah
jalan yang tidak begitu ramai dilalui kendaraan mereka tetap bersemangat
meminta sumbangan.
Ketika menyaksikan itu, saya berkata kepada
teman saya, “Ternyata ada juga ya orang yang meminta sumbangan membangun masjid
di daerah seperti ini. Luar biasa!” ujar saya. Akan tetapi, belum sempat teman
saya berkomentar, kami dikejutkan dengan celetukan sopir travel yang kami
tumpangi. Dia berkata, “Minta sumbangan untuk masjid setiap hari tapi yang
selesai dibangun gereja.” Saya pun terkejut mendengar perkataan bapak sopir
travel tersebut. Terus terang saya tidak paham apa maksud perkataan itu. Karena
saya tidak mengerti apa maksudnya, maka saya kemudian bertanya, “Maksudnya apa
pak?” Dia kemudian menjawab, “Ya kita sama-sama tahu lah mas, kalau uang yang
disumbangkan oleh masyarakat itu tidak semuanya untuk membangun masjid, tapi
ada yang masuk ke kantong pribadi yang meminta sumbangan. Makanya, masjidnya
gak selesai-selesai dibangun.” Saya pun tertegun mendengar penjelasan bapak
itu.
Apa yang disampaikan oleh bapak sopir travel
itu jelas pengalaman pribadi dia, atau pun pengetahuan pribadinya. Mungkin dia
menemukan kejadian hal itu hingga membuatnya kesal. Bisa jadi kekesalannya
dikarenakan pembangunan masjid dijadikan mata pencaharian orang-orang tertentu.
Namun, saya yakin bahwa tidak semua orang yang meminta sumbangan di jalan
berlaku seperti yang bapak sopir travel katakan. Karena itu, saya tidak
bertanya lebih jauh kepada bapak sopir travel itu.
Kegiatan meminta sumbangan ini juga saya
jumpai di daerah lain, tapi dalam bentuk yang berbeda dengan meminta sumbangan
di pinggir jalan. Di suatu desa di Kepulauan Bangka Belitung kegiatan meminta
sumbangan untuk membangun masjid dilakukan dengan cara pengurus masjid datang
ke rumah-rumah penduduk. Menurut saya, ini bentuk upaya kedua yang
dilakukan umat dalam membangun masjid. Biasanya pengurus masjid datang ke
rumah-rumah penduduk pada hari Jumat. Pengurus masjid mencatat setiap jumlah sumbangan
yang diberikan penduduk. Kegiatan ini hanya dilakukan pada saat ada pembangunan
masjid. Jika tidak ada pembangunan masjid maka tidak ada pengurus masjid yang
datang ke rumah-rumah warga.
Upaya ketiga dengan cara konvensional,
yaitu mengedarkan kotak amal atau meletakkan kotak amal di masjid. Biasanya kotak
amal diedarkan pada saat shalat Jumat atau pada momen-momen hari besar umat
Islam. Namun, saya pernah menjumpai pada saat shalat Idul Fitri dan Idul Adha di
bilangan Jakarta Timur yang diedarkan bukan kotak amal, tapi remaja berjalan ke
setiap jamaah dengan membawa kantong/karung kecil kain berwarna putih. Jamaah kemudian
mengisi uang ke dalam kantong dan si remaja berpindah ke jamaah lainnya. Demikian
seterusnya sampai ke akhir jamaah. Namun demikian, sejujurnya saya kurang tahu
apakah semua sumbangan yang didapatkan untuk membangun masjid atau juga
digunakan untuk keperluan masjid lainnya, misalnya untuk membayar listrik,
marbot, dan lain sebagainya.
Bentuk upaya berikutnya, atau keempat yang
saya temukan adalah semacam donatur tetap. Sumbangan yang didapatkan dari
donatur tetap ini diumumkan di papan pengumuman. Upaya seperti ini saya jumpai
di Bulukumba. Di papan pengumuman tertulis “Donatur Tetap” yang terdiri dari
nama-nama, jumlah donasi, dan bulan. Dari beberapa papan pengumuman yang saya
lihat di masjid-masjid yang berbeda, jumlah uang yang diberikan relatif sama. Tidak
ada yang berjumlah besar. Ada yang memberikan Rp5000, Rp10.000, Rp20.000, dan
Rp50.000. Cukup jarang saya lihat yang mendonasikan Rp100.000 atau di atasnya.
Namun, dari papan pengumuman ini saya banyak
belajar arti keikhlasan yang sesungguhnya. Para donatur tidak malu namanya
dipajang meskipun jumlah uang yang diberikan tidak besar. Memang kita tidak
boleh malu dalam melakukan kebaikan. Meskipun masih saja kita jumpai ada orang
yang malu atau enggan berbuat baik/bersedekah karena menganggap apa yang ia
berikan nilainya kecil. Padahal sudah dijelas yang dinilai oleh Allah adalah
keikhlasan bukan jumlahnya.
Sebenarnya kita bisa melogikakan mengapa yang
dinilai oleh Allah adalah keikhlasan, bukan jumlah atau nilai yang
diberikan/disedekahkan. Kita bisa memberikan perumpamaan orang yang tidak mampu
memberikan sedekah untuk membangun masjid sebanyak Rp5000 dan orang mampu
memberikan sumbangan sebanyak Rp500.000. Kedua orang ini memberikan dengan
ikhlas. Bagaimana nilainya di hadapan Allah? Nilai keduanya akan sama. Lebih atau
kurangnya hanya bergantung pada kadar keikhlasannya. Bisa sama dikarenakan
jumlah Rp5000 bagi orang yang tidak mampu bernilai besar bagi dirinya. Jumlah itu
dengan susah payah ia dapatkan. Sementara, nilai Rp500.000 bisa jadi tidak
terlalu besar bagi orang yang mampu karena ia bisa memperolehnya dengan mudah.
Peran sentral
masjid
Masjid memiliki posisi yang strategis dalam
ajaran Islam. Pada masa Nabi saw. masjid tidak hanya digunakan untuk shalat
berjamaah. Masjid juga digunakan untuk bermusyawarah memutuskan hal-hal penting
urusan umat Islam, menyusun strategi, dan lain sebagainya. Bahkan, pada masa
Nabi saw. dibolehkan sahabat yang tidak mampu menetap sementara di masjid
sampai ia mampu memiliki tempat tinggal. Pada masa itu, masjid juga menjadi
tempat tinggal ahli sufi.
Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, masjid digunakan
untuk proses belajar mengajar. Di masjid juga disediakan perpustakaan sehingga
memudahkan umat Islam untuk belajar. Dengan demikian, masjid selalu ramai
dengan kegiatan-kegiatan yang membawa kebaikan untuk umat Islam. Namun demikian,
jangan sampai masjid hanya dijadikan tempat berkumpul, berbincang-bincang, dan
bercengkrama urusan yang tidak penting. Karena, Nabi saw. melarangnya dengan
sabda, “Pada akhir zaman akan datang segolongan manusia dari umatku yang
datang ke masjid hanya untuk duduk-duduk dan berkumpul. Yang mereka
perbincangkan adalah dunia dan cinta dunia. Maka janganlah kalian bergaul
dengan mereka. Sebab, mereka tidak memiliki kebutuhan kepada Allah.”
Demikianlah
posisi strategis masjid bagi umat Islam. Oleh sebab itu, wajar kiranya Allah
memberikan ganjaran atau pahala yang besar bagi orang yang membangun masjid. Wallahu
a’lam.[]
0 Komentar