sumber foto: bangka.tribunnews.com
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menyebutkan sebuah hadits Nabi saw. yang berbunyi Siapa saja yang membangun masjid karena Allah walau hanya sebesar sarang burung maka Allah akan membangunkan sebuah istana di surga untuknya. Hadits ini secara jelas menyebutkan bahwa membangun masjid, sekecil apa pun, akan mendapatkan ganjaran pahala yang berlipat ganda dari Allah. Perbandingan sarang burung dengan sebuah istana tentunya sangat kontras sekali. Nabi saw. memberikan perbandingan yang sangat kontras ini ingin menunjukkan betapa membangun masjid merupakan pekerjaan yang besar di hadapan Allah.

Pahala besar yang disebutkan hadits Nabi saw. di atas akan didapatkan seorang muslim jika membangun masjid didasari oleh keikhlasan karena Allah semata. Keikhlasan karena Allah adalah kunci pahala berlipat ganda. Oleh sebab itu, jika seseorang membangun masjid bukan karena Allah maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa di akhirat kelak. Sebesar apa pun masjid yang dibangun sama sekali tidak bernilai di hadapan Allah.

Upaya membangun masjid
Besarnya pahala yang disabdakan Rasulullah memotivasi setiap muslim untuk membangun masjid. Hampir setiap muslim ingin membangun masjid, meskipun itu hanya sekedar niat di dalam hati. Setiap muslim yang mempunyai kemauan akan melakukan berbagai upaya untuk membangun masjid. Jika diperhatikan ada beberapa upaya yang dilakukan umat Islam dalam membangun masjid.

Pertama meminta sumbangan di pinggir jalan. Kegiatan seperti ini bisa kita jumpai di beberapa tempat dan daerah. Saya setiap sore, sepulang kerja, menjumpai orang-orang yang meminta sumbangan untuk membangun masjid. Kegiatan ini tidak hanya dijumpai di kota besar yang pasti lalu lintas kendaraan sangat ramai. Di pelosok daerah pun ada kegiatan yang seperti ini.

Pada saat melakukan perjalanan ke Bengkulu, tepatnya ke Curup, saya juga menemukan adanya masyarakat yang meminta sumbangan di pinggir jalan. Saat itu, saya melihat mayoritas yang meminta sumbangan adalah kaum hawa. Di tengah teriknya matahari dan hamburan debu jalanan serta semburan asap kendaraan ibu-ibu itu berdiri tegak menanti sumbangan. Di tengah jalan yang tidak begitu ramai dilalui kendaraan mereka tetap bersemangat meminta sumbangan.

Ketika menyaksikan itu, saya berkata kepada teman saya, “Ternyata ada juga ya orang yang meminta sumbangan membangun masjid di daerah seperti ini. Luar biasa!” ujar saya. Akan tetapi, belum sempat teman saya berkomentar, kami dikejutkan dengan celetukan sopir travel yang kami tumpangi. Dia berkata, “Minta sumbangan untuk masjid setiap hari tapi yang selesai dibangun gereja.” Saya pun terkejut mendengar perkataan bapak sopir travel tersebut. Terus terang saya tidak paham apa maksud perkataan itu. Karena saya tidak mengerti apa maksudnya, maka saya kemudian bertanya, “Maksudnya apa pak?” Dia kemudian menjawab, “Ya kita sama-sama tahu lah mas, kalau uang yang disumbangkan oleh masyarakat itu tidak semuanya untuk membangun masjid, tapi ada yang masuk ke kantong pribadi yang meminta sumbangan. Makanya, masjidnya gak selesai-selesai dibangun.” Saya pun tertegun mendengar penjelasan bapak itu.

Apa yang disampaikan oleh bapak sopir travel itu jelas pengalaman pribadi dia, atau pun pengetahuan pribadinya. Mungkin dia menemukan kejadian hal itu hingga membuatnya kesal. Bisa jadi kekesalannya dikarenakan pembangunan masjid dijadikan mata pencaharian orang-orang tertentu. Namun, saya yakin bahwa tidak semua orang yang meminta sumbangan di jalan berlaku seperti yang bapak sopir travel katakan. Karena itu, saya tidak bertanya lebih jauh kepada bapak sopir travel itu.

Kegiatan meminta sumbangan ini juga saya jumpai di daerah lain, tapi dalam bentuk yang berbeda dengan meminta sumbangan di pinggir jalan. Di suatu desa di Kepulauan Bangka Belitung kegiatan meminta sumbangan untuk membangun masjid dilakukan dengan cara pengurus masjid datang ke rumah-rumah penduduk. Menurut saya, ini bentuk upaya kedua yang dilakukan umat dalam membangun masjid. Biasanya pengurus masjid datang ke rumah-rumah penduduk pada hari Jumat. Pengurus masjid mencatat setiap jumlah sumbangan yang diberikan penduduk. Kegiatan ini hanya dilakukan pada saat ada pembangunan masjid. Jika tidak ada pembangunan masjid maka tidak ada pengurus masjid yang datang ke rumah-rumah warga.

Upaya ketiga dengan cara konvensional, yaitu mengedarkan kotak amal atau meletakkan kotak amal di masjid. Biasanya kotak amal diedarkan pada saat shalat Jumat atau pada momen-momen hari besar umat Islam. Namun, saya pernah menjumpai pada saat shalat Idul Fitri dan Idul Adha di bilangan Jakarta Timur yang diedarkan bukan kotak amal, tapi remaja berjalan ke setiap jamaah dengan membawa kantong/karung kecil kain berwarna putih. Jamaah kemudian mengisi uang ke dalam kantong dan si remaja berpindah ke jamaah lainnya. Demikian seterusnya sampai ke akhir jamaah. Namun demikian, sejujurnya saya kurang tahu apakah semua sumbangan yang didapatkan untuk membangun masjid atau juga digunakan untuk keperluan masjid lainnya, misalnya untuk membayar listrik, marbot, dan lain sebagainya.

Bentuk upaya berikutnya, atau keempat yang saya temukan adalah semacam donatur tetap. Sumbangan yang didapatkan dari donatur tetap ini diumumkan di papan pengumuman. Upaya seperti ini saya jumpai di Bulukumba. Di papan pengumuman tertulis “Donatur Tetap” yang terdiri dari nama-nama, jumlah donasi, dan bulan. Dari beberapa papan pengumuman yang saya lihat di masjid-masjid yang berbeda, jumlah uang yang diberikan relatif sama. Tidak ada yang berjumlah besar. Ada yang memberikan Rp5000, Rp10.000, Rp20.000, dan Rp50.000. Cukup jarang saya lihat yang mendonasikan Rp100.000 atau di atasnya.

Namun, dari papan pengumuman ini saya banyak belajar arti keikhlasan yang sesungguhnya. Para donatur tidak malu namanya dipajang meskipun jumlah uang yang diberikan tidak besar. Memang kita tidak boleh malu dalam melakukan kebaikan. Meskipun masih saja kita jumpai ada orang yang malu atau enggan berbuat baik/bersedekah karena menganggap apa yang ia berikan nilainya kecil. Padahal sudah dijelas yang dinilai oleh Allah adalah keikhlasan bukan jumlahnya.

Sebenarnya kita bisa melogikakan mengapa yang dinilai oleh Allah adalah keikhlasan, bukan jumlah atau nilai yang diberikan/disedekahkan. Kita bisa memberikan perumpamaan orang yang tidak mampu memberikan sedekah untuk membangun masjid sebanyak Rp5000 dan orang mampu memberikan sumbangan sebanyak Rp500.000. Kedua orang ini memberikan dengan ikhlas. Bagaimana nilainya di hadapan Allah? Nilai keduanya akan sama. Lebih atau kurangnya hanya bergantung pada kadar keikhlasannya. Bisa sama dikarenakan jumlah Rp5000 bagi orang yang tidak mampu bernilai besar bagi dirinya. Jumlah itu dengan susah payah ia dapatkan. Sementara, nilai Rp500.000 bisa jadi tidak terlalu besar bagi orang yang mampu karena ia bisa memperolehnya dengan mudah.

Peran sentral masjid
Masjid memiliki posisi yang strategis dalam ajaran Islam. Pada masa Nabi saw. masjid tidak hanya digunakan untuk shalat berjamaah. Masjid juga digunakan untuk bermusyawarah memutuskan hal-hal penting urusan umat Islam, menyusun strategi, dan lain sebagainya. Bahkan, pada masa Nabi saw. dibolehkan sahabat yang tidak mampu menetap sementara di masjid sampai ia mampu memiliki tempat tinggal. Pada masa itu, masjid juga menjadi tempat tinggal ahli sufi.

Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, masjid digunakan untuk proses belajar mengajar. Di masjid juga disediakan perpustakaan sehingga memudahkan umat Islam untuk belajar. Dengan demikian, masjid selalu ramai dengan kegiatan-kegiatan yang membawa kebaikan untuk umat Islam. Namun demikian, jangan sampai masjid hanya dijadikan tempat berkumpul, berbincang-bincang, dan bercengkrama urusan yang tidak penting. Karena, Nabi saw. melarangnya dengan sabda, “Pada akhir zaman akan datang segolongan manusia dari umatku yang datang ke masjid hanya untuk duduk-duduk dan berkumpul. Yang mereka perbincangkan adalah dunia dan cinta dunia. Maka janganlah kalian bergaul dengan mereka. Sebab, mereka tidak memiliki kebutuhan kepada Allah.

Demikianlah posisi strategis masjid bagi umat Islam. Oleh sebab itu, wajar kiranya Allah memberikan ganjaran atau pahala yang besar bagi orang yang membangun masjid. Wallahu a’lam.[]