sumber sketsa: http://arieharjanoviar.blogspot.co.id |
Ustadz saya dulu pernah bilang, “Hati-hati kalau ngaji karena salah ngaji bisa gila.” Saat itu, saya berfikir apakah benar ada orang yang salah ngaji lalu gila? Saya membayangkan orang gila yang dikatakan oleh ustadz saya adalah orang yang kalau kemana-mana tidak memakai baju, makan makanan semaunya, tertawa sendiri, dan tidak pernah mandi. Dalam pikiran saya inilah orang gila. Memang pada saat itu saya tidak bertanya lebih jauh kepada ustadz saya apa maksud gila yang dia katakan karena keyakinan saya bahwa memang gila yang dikatakan ustadz adalah apa yang ada dipikiran saya.
Saya
juga pernah mendengar cerita dari ayah saya bahwa ada orang yang gila akibat
salah ngaji. Ayah saya menyebutkan bahwa pernah di kampungnya ada orang yang
salah ngaji kemudian gila. Orang gila ini kemana-mana selalu menenteng
kapak. Jika bertemu dengan orang lain maka ia akan mengejar orang lain itu
dengan kapak. Tentu orang-orang di kampung ayah saya pada ketakutan. Untuk
menghindari hal yang berbahaya orang gila ini kemudian dikurung oleh
keluarganya.
Apa itu ngaji
Ngaji
berasal dari kata kaji yang artinya belajar. Di kampung saya dulu istilah ngaji biasa
digunakan untuk belajar membaca Al-Quran. Perkataan “ayok kita
pergi ngaji” berarti “ayok kita pergi belajar membaca Al-Quran”. Selain itu, ngaji
juga bisa berarti belajar ilmu agama. Ada istilah yang berbunyi “ngaji kitab”.
Ini maknanya belajar agama dengan membaca kitab, biasanya kitab yang berbahasa
Arab. Orang yang belajar agama biasa disebut dengan orang yang mengaji. Jadi
dengan demikian, ngaji pada hakikatnya adalah belajar untuk mendalami agama.
Tempat ngaji
Pada
umumnya orang ngaji kepada ustadz atau guru. Seorang murid akan pergi ke rumah
ustadz atau gurunya jika akan belajar. Ada pertemuan fisik dan komunikasi di
sini. Jadi tidak ada orang yang ngaji sendiri alias tidak mempunyai ustadz atau
guru. Ini karena posisi guru sangat penting dalam membimbing seorang murid
dalam mendalami keilmuannya. Dengan demikian jika ditemukan ada orang yang
belajar sendiri dengan membaca kitab atau buku maka orang ini bukan disebut
dengan mengaji.
Peran penting ustadz atau guru
Sesungguhnya
belajar sendiri rentan terhadap kekeliruan. Karena dalam memahami pesan
keagamaan diperlukan seorang ustadz atau guru untuk menjelaskan hal-hal yang
rumit. Jika ditemukan hal yang rumit tapi tidak ada seorang guru maka akan
berakibat kekeliruan dalam pemahaman. Akibatnya ia bukan mendapatkan pesan
kebaikan agama malah ia akan terjerumus kepada kejahatan.
Ustadz
atau guru tidak hanya berperan dalam menjelaskan hal-hal yang rumit, tapi lebih
daripada itu ustadz atau guru berperan dalam memberikan contoh yang baik (uswatun
hasanah). Seorang ustadz atau guru berperan penting dalam menentukan masa
depan muridnya. Jika ustadz atau guru itu mengarahkan muridnya ke arah yang
benar maka muridnya akan menuju kepada kebenaran. Sebaliknya, apabila ustadz
atau guru itu mengarahkannya kepada arah yang tidak tepat maka si murid juga
akan menuju kepada kekeliruan.
Buah ngaji
Dalam
mengaji, banyak hal yang bisa diserap dan dipahami oleh seorang murid. Jika ia
mengaji perkara-perkara keagamaan maka hasilnya ia akan menjadi orang yang
paham ilmu agama. Ia akan menjadi panutan dalam penyebaran pesan-pesan kebaikan
agama. Pemahaman yang didapatkan seorang murid dalam mengaji akan menentukan
bagaimana proses interaksi sosialnya di masyarakat.
Karena
mengaji merupakan pembelajaran agama maka murid yang ngaji akan membawa
kebaikan kepada masyarakat. Ini disebabkan agama pasti membawa pesan kebaikan
kepada masyarakat. Agama selalu mengajarkan kebaikan, keadilan, kebersamaan,
kejujuran, kesopanan, dan hal-hal positif lainnya. Tidak ada agama yang
mengajarkan sebaliknya, seperti kejahatan, kerusakan, kebohongan, dan hal-hal
negatif lainnya.
Namun
demikian, ada orang yang telah mengaji tetapi ia malah melakukan hal-hal yang
berkebalikan dengan pesan agama. Agama mengajarkan kebaikan tapi ia melakukan
kejahatan. Agama mengajarkan kesopanan tapi ia berbuat acuh tak acuh. Agama
mewajibkan jujur tapi ia malah sering berbohong. Agama mengajarkan keadilan
tapi ia melakukan kecurangan. Agama mengajarkan kebersamaan tapi ia senang
menyendiri. Agama mengajarkan sikap saling menghormati terhadap perbedaan tapi
ia merasa paling benar sendiri. Semua orang yang berbeda dengannya salah, hanya
dirinya saja yang benar. Agama mengajarkan tidak boleh bunuh diri dengan alasan
apa pun tapi ia malah melakukan bunuh diri. Agama mengajarkan tidak boleh
membunuh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan tapi ia tega membunuh orang.
Begitu seterusnya.
Apa
yang diajarkan agama berbanding terbalik dengan sikap sehari-harinya. Padahal
ia telah mengaji. Inilah yang nampaknya dulu pernah dikatakan oleh ustadz saya,
yaitu orang ini salah ngaji. Salah ngaji ini bisa disebabkan ia keliru atau
tidak tepat dalam memilih ustadz/guru atau memang materi kajiannya yang keliru.
Dua hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil kajiannya.
Jika
dulu saya memahami perkataan salah ngaji bisa gila sebagai gila beneran
alias tidak waras, saat ini saya baru paham bahwa perkataan ustadz itu lebih
dalam dan luas maknanya. Salah ngaji bisa gila ternyata bermakna bahwa orang
yang salah ngaji bisa melakukan hal-hal yang di luar logika atau akal sehat
manusia pada umumnya. Misalnya ada orang yang sudah ngaji tapi membunuh orang
lain yang tidak bersalah dengan cara meledakkan dirinya sendiri (bom bunuh
diri). Bahkan ia mengajak anak-anaknya untuk melakukan perbuatan ini. Kalau
bukan gila apalagi hal yang pantas disematkan kepada orang seperti ini. Hanya
orang gila yang bisa melakukan ini.
Ada
lagi orang yang salah ngaji, yaitu membunuh polisi (aparat). Padahal semua
orang tahu bahwa polisi bertugas sebagai penjaga keamanan masyarakat. Bagaimana
bisa masyarakat akan aman jika polisinya dibunuh. Siapa yang akan menjaga
masyarakat jika polisinya dibunuh? Hanya orang yang gila yang bisa melakukan
tindakan ini.
Tidak hanya itu, salah
ngaji bisa gila dibuktikan dengan adanya orang yang sudah ngaji tapi malah
melakukan teror di tengah-tengah masyarakat. Ia mencipatakan ketakutan. Padahal
agama mengajarkan kebaikan dan kedamaian. Wallahu a’lam.[]
0 Komentar