Putussibau adalah ibu kota Kapuas Hulu. Kota kecil nan sunyi ini berada tidak jauh dari sungai terpanjang di Indonesia, Sungai Kapuas. Di kabupaten inilah hulu sungai Kapuas berada. Oleh karena itu, daerah ini dinamakan Kapuas Hulu.


Perjalanan ke ibu kota Kapuas Hulu dari Pontianak dapat ditempuh melalui jalur darat, air, dan udara. Untuk saat ini, jalur yang paling sering digunakan adalah jalur darat dan udara. Jalur air, yaitu melalui Sungai Kapuas, jarang ditempuh orang karena memakan waktu yang lebih lama dari jalur darat. Namun, sebelum jalur darat ramai digunakan, akses ke Kapuas Hulu banyak dilakukan melalui jalur air. Menurut cerita masyarakat, lebih kurang tahun 1990-an transportasi ke Kapuas Hulu ditempuh sekitar satu minggu karena melalui Sungai Kapuas. Lamanya waktu tempuh ini, selain karena faktor kecepatan kapal dan jarak, juga dikarenakan kapal-kapal yang membawa penumpang singgah ke tempat-tempat yang ada di sepanjang sungai Kapuas.

Dengan kondisi jalan yang menurut masyarakat sudah bagus dan mulus, jalur darat dapat ditempuh lebih kurang 12 sampai 14 jam. Misalkan jika berangkat dari Putussibau ke Pontianak jam 6 sore maka sampai di Pontianak sekitar jam 6 subuh. Kendaraan umum yang biasa digunakan untuk transportasi darat adalah bus. Bus-bus yang mengangkut penumpang umumnya sudah dilengkapi dengan fasilitas modern, misalnya AC, musik, bahkan wi-fi.

Sementara, untuk jalur udara ditempuh lebih kurang 1 jam saja dari Bandar Udara Supadio Pontianak. Maskapai yang melayani penerbangan ke Bandar Udara Pangsuma di antaranya adalah Garuda, Nam Air, dan Wings Air. Jenis pesawat yang digunakan berbadan kecil dan mempunyai baling-baling seperti ATR 72-500/600. Harus diakui bahwa tingkat keterisian penumpang ke Putussibau tidak begitu tinggi. Pada saat saya berangkat ke Putussibau dan begitu juga saat pulang kursi penumpang pesawat cukup banyak yang tidak terisi.
Bandar Udara Pangsuma sebagai akses udara di Kapuas Hulu. Dalam satu hari, bandara ini melayani penerbangan sebanyak 3 kali ke Pontianak. 
Kuliner
Masyarakat Kapuas Hulu, khususnya Putussibau cukup heterogen. Selain orang Dayak dan Melayu, di kota ini dapat juga dijumpai orang Jawa, Minang, Tionghoa, dan Sunda. Maka tidak mengherankan kalau di jantung Borneo ini banyak dijumpai warung atau rumah makan Padang, soto Lamongan, sate, dan berbagai macam kuliner lainnya yang jamak kita temui di tempat lain.

Kerupuk basah adalah makanan khas Putussibau. Jangan dibayangkan kerupuk basah adalah kerupuk yang diletakkan di dalam air. Kerupuk basah terbuat dari ikan sungai (air tawar). Karena di daerah ini ikan yang ada hanyalah ikan air tawar. Kerupuk basah hampir sama dengan pempek, baik dari segi rasa dan bentuknya. Hanya saja, menurut saya, aroma ikan pada kerupuk basah lebih terasa dibandingkan pempek.
Kerupuk basah, makanan khas Putussibau
Selain kerupuk basah, di Putussibau juga ada lontong sayur. Pada awalnya saya mengira lontong sayur di kota ini sama dengan lontong sayur di Jakarta atau daerah lainnya. Ternyata setelah saya pesan, lontong sayurnya berbeda. Dari sisi rasa dan bentuk, lontong sayur di Putussibau mirip dengan Selada di Pulau Bangka.
Lontong sayur yang saya beli di warung belakang hotel tempat saya menginap
Secara umum, makanan di Putussibau hampir sama dengan daerah lainnya di Indonesia. Hanya memang makanan di sini tidak pedas. Untuk menu ikan, daerah ini banyak menyediakan menu ikan sungai, seperti belido, toman, gabus, dan lain-lainnya. Ikan laut memang ada, tapi rasanya menurut saya—yang terbiasa makan ikan laut sejak kecil—sudah tidak karuan lagi. Ini dapat dimaklumi karena daerah Kapuas Hulu sangat jauh dari laut.

Namun, uniknya masyarakat di Putussibau menyebut sungai Kapuas dengan sebutan laut. Sementara, pinggiran sungai Kapuas mereka sebut dengan pantai. Entah apa alasan mereka, yang jelas saya sempat melihat ada pinggiran sungai Kapuas, tepatnya pinggiran sungai Kapuas yang menuju Kecamatan Bika, memiliki bentuk yang mirip dengan pantai, yaitu berpasir putih.
Pasir putih di pinggiran Sungai Kapuas
Mata pencaharian
Mata pencaharian masyarakat Kapuas Hulu pada umumnya bertani. Di daerah ini banyak dijumpai padi. Masyarakat menanam padi dengan sistem tadah hujan. Oleh sebab itu, padi ditanam dan dipanen setahun sekali karena bergantung dengan turunnya hujan. Pada saat saya mengunjungi daerah ini, musim hujan baru saja dimulai. Padi-padi masyarakat sedang tumbuh hijau.

Selain padi, masyarakat di daerah ini juga menanam karet. Setiap hari, masyarakat berangkat ke kebun untuk menyadap karet. Getah karet yang didapatkan kemudian dikeringkan sehingga berbentuk bulat sebesar gelas. Namun sayangnya, harga karet saat saya ke sini sedang murah, yaitu sekitar Rp5000 menurut petani karet.
Hamparan padi di Putussibau Utara
Tidak hanya karet, masyarakat di Kapuas Hulu juga banyak menanam Puri. Puri diambil daunnya. Setelah dipetik, daun Puri kemudian dijemur. Sebelum dijual, daun itu dirajang dan dilumatkan dengan mesin. Namun, ada juga yang langsung menjual daun kering Puri. Biasanya daun Puri dijual ke Pontianak untuk selanjutnya dijual ke luar negeri, seperti ke Amerika Serikat, Thailand, Kanada, dan lain-lain.
Puri yang masih kecil di salah satu kebun warga
Daun Puri memiliki banyak manfaat, seperti untuk pengobatan herbal, mengobati diare, menurunkan tekanan darah tinggi, dan lain sebagainya. Namun sayangnya, hingga saat ini masyarakat di Kapuas Hulu belum sepenuhnya “nyaman” dalam menanam Puri. Hal ini disebabkan ada yang menyebutkan bahwa Puri dikategorikan sebagai narkoba jenis baru. Seharusnya pemerintah bergerak cepat dan memberikan kejelasan status tanaman ini. Jangan sampai mayoritas masyarakat sudah menanam tanaman ini pemerintah baru memberi keputusan. Tidak masalah jika keputusan pemerintah membolehkan, tapi kalau seandainya melarang tentunya akan merugikan masyarakat.
Daun Puri yang sedang berpucuk muda


Saat ini, Puri dengan mudah dapat dilihat di bantaran sungai, halaman rumah, dan di pinggir jalan. Jika kita menyusuri jalanan di Kapuas Hulu, seperti Putussibau Utara, Putussibau Selatan, dan Bika maka di pinggir kanan dan/atau kiri jalan kita akan melihat Puri. Bahkan menurut Antara sebagian besar mayarakat di Nanga Kalis, Kecamatan Kalis, menanam tanaman ini. Menurut masyarakat, pada awalnya Puri hanyalah tanaman hutan yang banyak tumbuh di hutan Kapuas Hulu. Pada saat tanaman ini booming tahun 2010-an, masyarakat kemudian mengembangbiakkan tanaman ini. Tanaman Puri termasuk tanaman yang mudah diurus karena setelah ditanam, tanpa perawatan yang maksimal pun, lebih kurang satu tahun kemudian sudah bisa dipanen.
Puri yang tumbuh di bandar depan KUA Kecamatan Bika
Kapuas Hulu juga terkenal dengan penangkaran ikan Arwana. Masyarakat Kapuas Hulu menyebut ikan Arwana dengan nama ikan Silok. Salah satu penangkaran terbesar ikan Arwana terdapat di Kecamatan Bika. Berdasarkan cerita dari warga, satu ikan arwana sebesar jari kelingking dihargai 1 sampai 2 juta rupiah.

Tidak hanya terkenal dengan ikan Arwana, Kapuas Hulu terkenal juga dengan madu. Oleh karena itu, salah satu oleh-oleh yang wajib dibawa saat pulang dari Kapuas Hulu adalah madu. Madu yang ada di Kapuas Hulu biasanya madu Kelulut dan madu hutan. Madu Kapuas Hulu memiliki rasa manis. Namun, ada juga yang agak asam.

Potensi Kapuas Hulu
Kapuas Hulu salah satu kabupaten yang memiliki wilayah luas di Kalimantan Barat. Jika dilihat dari luas wilayah, Kapuas Hulu bisa dimekarkan menjadi setidaknya 2 kabupaten baru. Namun sayangnya, dari sisi jumlah penduduk daerah ini belum bisa dimekarkan. Akibatnya, manakala ada warga yang bermaksud mengurus administrasi ke ibu kota cukup mengalami kesulitan karena faktor jarak yang jauh ke ibu kota. Misalnya dari Kecamatan Badau ke Putussibau membutuhkan waktu sekitar 8 jam pergi dan pulang. Belum lagi masalah transportasi, misalnya dari Jongkong yang hanya bisa ditempuh melalui speed boat dan jarangnya angkutan di daerah ini.

Sebenarnya pemerintah harus memperhatikan masalah ini. Apalagi, Kabupaten Kapuas Hulu ini memiliki kecamatan-kecamatan yang berbatasan langsung dengan Serawak Malaysia, seperti Kecamatan Puring Kencana dan Kecamatan Badau. Pada tahun 2017, Presiden Joko Widodo telah meresmikan Kawasan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Nanga Badau. Dengan diresmikannya kawasan ini diharapkan wilayah perbatasan negara tidak tertinggal jauh dari wilayah Serawak.

Putussibau, sebagai ibu kota kabupaten masih harus terus dikembangkan. Di kota ini, hotel yang representatif bagi pengunjung atau wisatawan masih minim. Hotel yang ada belum bisa menyediakan tempat penginapan yang nyaman bagi tamu. Padahal, sebagai wilayah yang memiliki potensi pertanian dan perairan banyak hal yang bisa dikembangkan. Selain itu, potensi objek wisata dan penelitian juga bisa dimaksimalkan, misalnya Taman Nasional Danau Sentarum.

Sejarah Putussibau
Menurut warga, nama Putussibau diambil dari dua kata, yaitu Putus dan Sibau. Sibau adalah nama kampung Dayak. Kampung ini terputus atau dikelilingi oleh sungai Kapuas sehingga dinamakanlah daerah ini dengan nama Putussibau.
Sungai Kapuas dari ketinggian seperti ular besar yang sedang membelah belantara hutan Kalimantan.
Sejarah kota Putussibau cukup panjang. Sejarah panjang inilah yang menjadikan kota ini sebagai ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu dibandingkan dengan daerah lainnya di Kapuas Hulu. Pembentukan Kabupaten Kapuas Hulu dengan Putussibau sebagai ibu kota didasari oleh Undang-undang Darurat nomor 3 tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan. Maka pada tanggal 13 Januari 1953 terbentuk Kabupaten Daerah Tingkat II Kapuas Hulu dengan Bupati pertama yang menjabat adalah JC. Oevang Oeray (1951-1955).

Sampai tahun 2018 ini, Kapuas Hulu memiliki 23 kecamatan, yaitu Badau, Batang Lupar, Bika, Boyan Tanjung, Bunut Hilir, Bunut Hulu, Embaloh Hilir, Embaloh Hulu, Empanang, Hulu Gurung, Jongkong, Kalis, Mentebah, Pengkadan, Puring Kencana, Putussibau Selatan, Putussibau Utara, Seberuang, Selimbau, Semitau, Silat Hilir, Silat Hulu, dan Suhaid. Jumlah kecamatan yang banyak ini berimplikasi pada kurang maksimalnya layanan pemerintah daerah. Hal ini disebabkan jauhnya jarak satu kecamatan dengan ibu kota pemerintah daerah. Selain itu, faktor jarak juga bisa menyebabkan kurangnya “perhatian” pemerintah terhadap wilayah kecamatan yang jauh. Bahkan, jarak yang jauh dapat menyebabkan potensi konflik yang ada di satu kecamatan tidak terdeteksi secara baik oleh pemerintah daerah.

Mitigasi konflik
Mitigasi konflik sangat diperlukan terutama bagi daerah yang masyarakatnya heterogen. Misalnya di Kecamatan Badau terjadi konflik horizontal antara masyarakat (Yayasan) yang bermaksud membangun pesantren dengan masyarakat Dayak. Dewan Adat Dayak Kecamatan Badau menolak pendirian pesantren yang didanai oleh Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kapuas Hulu. Padahal, pembangunan ini sudah dianggarkan oleh pemerintah. Pemenang proyek pun sudah ada. Namun, dikarenakan adanya penolakan dari masyarakat pembangunan pondok pesantren ini akhirnya dibatalkan.

Seharusnya, aparat pemerintah sudah bisa mendeteksi penolakan ini sejak dari awal. Dengan pengetahuan dari awal maka bisa dilakukan komunikasi intensif dan maksimal kepada masyarakat yang menolak. Berdasarkan surat penolakan dari Dewan Adat Dayak Kecamatan Badau yang sempat saya baca terdapat banyak alasan yang menyebabkan mereka menolak pembangunan tersebut, di antaranya menurut mereka lebih penting dibangun fasilitas lainnya yang mendukung kemajuan kecamatan Badau, semacam rumah sakit dan hotel.
Gedung Pertemuan di MAN Putussibau
Namun pada intinya menurut saya penolakan itu terjadi dikarenakan kurangnya komunikasi antara aparat pemerintah, baik itu pemerintah daerah dan Kankemenag Kapuas Hulu, yayasan, dan Dewan Adat Dayak Kecamatan Badau. Letak kantor pemerintah daerah dan Kankemenag Kapuas Hulu yang jauh dari Badau turut berperan dalam “mandeknya” komunikasi tersebut. Akibatnya pembangunan pesantren batal dilakukan meskipun bahan bangunan sudah dibeli dan tanah pembangunan sudah diratakan. Selain itu, penyerapan anggaran pemerintah juga menjadi tidak maksimal.

Dinamika masyarakat
Heterogenitas masyarakat Kapuas Hulu bisa dilihat dalam kegiatan dan kehidupan sehari-hari. Tiga agama yang banyak diyakini masyarakat Kapuas Hulu adalah Islam, Katolik, dan Kristen. Ketiga agama ini menjadi semacam agama “resmi’ bagi masyarakat Kapuas Hulu. Saya menyatakan istilah “resmi” karena agama-agama itulah yang tercantum pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan administrasi pemerintah lainnya.

Namun, dalam praktiknya masih ada masyarakat yang menjalankan keyakinan atau tradisi nenek moyangnya. Misalnya pelaksanaan Gawai Dayak. Menurut warga, Gawai Dayak biasanya dilakukan olek suku Dayak sehabis panen. Pelaksanaan Gawai Dayak ini sebagai wujud syukur masyarakat kepada Jubata. Dalam keyakinan masyarakat Dayak, Jubata adalah Pencipta dan Pemelihara yang sangat adil, sangat baik, dan sangat murah hati.

Tak boleh dilewatkan
Saat berkunjung ke Putussibau ada satu hal yang sayang dilewatkan, yaitu pergi ke Rumah Adat Betang Panjang. Masih terdapat beberapa rumah adat lainnya di Kabupaten Kapuas Hulu, tapi saya hanya berkesempatan datang ke Rumah Adat Betang Panjang. Menurut warga yang tinggal di rumah adat ini, keseluruhan Rumah Adat Betang Panjang memiliki 35 pintu. Rumah adat ini didirikan pada 31 Juni 1996. Selanjutnya, rumah ini diresmikan pada 28 Desember 2013 oleh Bupati Drs. H. Abang Tambul Husin.
Rumah Adat Betang Panjang
Tempat menaruh makanan dan lain-lain yang digunakan untuk sesi pengobatan tradisional (bamanang). Ritual ini biasa dilakukan pada saat ada anggota suku Dayak yang tidak kunjung sembuh dari penyakitnya. Harapannya dengan dilakukan bamanang maka penyakitnya akan sembuh.

Di rumah ini kita bisa melihat warga Dayak yang tinggal di masing-masing pintu/rumah. Saat berkunjung ke sini, banyak pintu rumah yang tertutup karena memang saya ke sini pada pagi hari. Menurut ibu-ibu yang saya tanyakan, pintu tertutup itu karena ada yang sedang pergi ke kebun/ladang. Atau memang rumah itu kosong karena penghuninya tinggal di tempat lain, misalkan Pontianak.
Ibu dan anak perempuan suku Dayak sedang ke luar menuruni tangga Rumah Adat Betang Panjang
Penghuni Rumah Adat Betang Panjang berasal dari garis keturunan nenek moyang yang sama. Bisa dikatakan bahwa pada dasarnya mereka masih satu keluarga. Di rumah ini kita juga bisa membeli hasil kerajinan tangan yang dibuat oleh warga Dayak. Tidak ada paksaan kepada pengunjung untuk membeli. Dan terakhir sebelum kita meninggalkan rumah ini jangan lupa mengisi buku tamu yang sudah disediakan oleh penghuni rumah. 

Selain berkunjung ke Rumah Adat Bentang Panjang, kita juga bisa melihat Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) yang terletak di dekat Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Putussibau Selatan. Bangunan ini berbentuk khas Melayu.
Majelis Adat Budaya Melayu (MABM)
Kabupaten yang berada di jantung Borneo ini akan terus berkembang. Dengan berbagai potensi dan kekayaan yang dimilikinya, Kabupaten Kapuas Hulu dapat menjadi lebih maju dan modern. Tentunya semua itu dapat diraih dengan dukungan dari pemerintah dan masyarakat Kapuas Hulu sendiri.[]