Acap kali terdengar ada orang yang berkata, “Substansinya kan sama.” Perkataan
ini biasa diucapkan manakala perbincangan dalam suatu diskusi atau perdebatan
menemukan puncaknya. Saat tidak menemukan jawaban, maka salah satu pihak yang
terlibat dalam diskusi tersebut akan mengeluarkan jurus terakhir, yaitu
perkataan di atas.
Saya sendiri beberapa kali mendengar langsung ucapan itu. Baik terkait
langsung dengan pekerjaan saya, maupun tidak. Pernah satu kali saya mendengar
perbincangan atau diskusi antara 2 (dua) orang. Dalam diskusi itu salah satunya
menyarankan untuk membuat penjelasan berupa larangan dalam petunjuk teknis
(juknis). Gunanya untuk memberikan kejelasan kepada pembaca dan pelaksana
terkait apa saja yang boleh dan apa saja yang tidak boleh (dilarang). Namun,
orang yang disarankan nampaknya tidak begitu menerima saran tersebut. Setelah berbicara
dan berargumen panjang lebar tapi argumennya itu bisa dipatahkan maka dia
mengatakan, “Ya, pada substansinya kan sama saja.”
Di lain waktu saya pernah mendengar 2 (dua) orang yang sedang asyik
terlibat perbincangan di dalam masjid. Kebetulan suara mereka berdua cukup
keras dan tepat di belakang saya sehingga apa yang dibincangkan terdengar jelas
di telinga saya. Ternyata, mereka berdua sedang membicarakan orang lain. Inti ceritanya
adalah salah satu di antara mereka berdua tidak terima dengan pendapat orang
lain tersebut. Dia yang tidak terima berkata kepada orang lain itu, “Kenapa
harus dipersulit? Jangan selalu mengandalkan undang-undang atau peraturan
karena bisa saja peraturan itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman. Apa yang saya lakukan bisa dibenarkan karena substansinya kan sama.” Demikian
lah perbincangan mereka.
Apa itu substansi
Substansi adalah watak yang sebenarnya dari sesuatu; isi; pokok; inti.
(KBBI) Dengan demikian, ketika kata substansi diucapkan maka tersirat makna
yang mendalam. Makna yang mungkin hanya bisa dipahami oleh kalangan tertentu
saja. Begitu dalam dan luasnya makna kata substansi sehingga suatu keadaan,
benda, zat, atau apa pun itu tidak akan ada tanpa kewujudan substansi. Substansi
menjadi faktor utama adanya segala sesuatu.
Dalam dan luasnya makna substansi semestinya tidak menjadikan orang terlalu
mudah mengucapkannya. Karena dikhawatirkan apa yang ia ucapkan justru tidak ia
pahami atau pemahaman yang ia miliki ternyata kurang tepat. Akibatnya apa yang
diharapkan akan didapatkan dari sebuah diskusi atau perdebatan malah tidak
mendapatkan apa-apa. Alangkah bijak jika penggunaan kata ini perlu disertai
dengan kehati-hatian.
Mayoritas tidak paham substansi
Jika kita dihadapkan pada posisi orang yang sedang berdiskusi dan lawan
bicara kita mengeluarkan jurus ampuh ini lalu apa yang dapat kita lakukan? Apa kira-kira
jawaban kita yang dapat mematahkan kata itu? Sebenarnya, untuk memberikan
jawaban terhadap kata yang memiliki makna yang dalam dan luas tidak lah mudah. Akan
dibutuhkan penjelasan yang panjang. Tapi, setidaknya kita dapat memberikan
jawaban sederhana untuk menyelesaikan permasalahan ini. Jawaban sederhana yang
dapat diberikan adalah dengan membawa kata substansi ini ke kehidupan
sehari-hari.
Misalnya dalam kehidupan sehari-hari saya menemukan fakta sebagai berikut. Pada
saat melakukan kunjungan ke sebuah Taman Seminari di Kabupaten Karawang, Jawa
Barat saya mendapatkan cerita dari pengelola Taman Seminari tersebut. Bapak itu
bercerita bagaimana sulitnya dia mendirikan Taman Seminari. Perlu diketahui
bahwa Taman Seminari ini berdiri di lingkungan mayoritas muslim. Karena itu, masyarakat
sekitar menolak dan menentang berdirinya sekolah ini. Namun, berkat perjuangan
tak kenal lelah dan usaha pemberian pemahaman kepada masyarakat akhirnya Taman
Seminari itu mendapatkan izin operasional pada tahun 2017.
Berikutnya pada saat saya berkunjung ke Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur saya menemukan fakta yang hampir sama. Di daerah ini saya mendapatkan
cerita dari salah seorang tokoh agama Islam yang sangat kesulitan membangun
masjid. Masyarakat di daerah itu dengan keras menolak dan menentang pendirian
masjid. Menurut tokoh agama itu, untuk membangun masjid tidak hanya diperlukan
izin dari pemerintah, tapi juga dari masyarakat dan pendeta/pastor. Tentu sudah
mafhum bahwa di Kabupaten Kupang mayoritas adalah Kristen Protestan dan
Katolik. Bisa saja misalnya sudah mendapatkan izin dari pemerintah tapi tidak
mendapatkan izin dari masyarakat dan pendeta/pastor maka masjid tersebut tidak
akan bisa didirikan. Oleh tokoh agama tersebut saya diajak melihat pondasi masjid
yang tak kunjung mendapatkan izin pendirian.
Dari 2 (dua) kejadian di atas kita bisa melihat bahwa mayoritas orang atau
masyarakat tidak memahami substansi. Di Kabupaten Karawang masyarakat tidak
paham bahwa secara substansi Taman Seminari itu sangat bermanfaat karena
membawa kebaikan dalam pendidikan. Pun begitu juga di Kabupaten Kupang. Masyarakat
di sana tidak paham bahwa secara subtansi masjid sangat bermanfaat karena
masjid membawa kebaikan untuk beribadah.
Lalu pertanyaannya adalah apakah masyarakat di kedua tempat di atas salah? Jawabannya
tidak. Kenapa tidak salah karena mereka tidak paham substansi. Saya yakin jika
mereka memahami subtansi dari sebuah Taman Seminari dan Masjid tentunya mereka
tidak akan menolak dan menentang. Tugas kita adalah memberikan pemahaman kepada
masyarakat tentang substansi.
Kembali ke permasalahan orang yang mengatakan “substansinya sama”. Kita
memberikan jawaban bahwa betul substansinya sama, tapi apakah semua orang paham
subtansi itu? Belajar dari kasus yang saya ceritakan di atas diketahui bahwa
mayoritas orang tidak mengetahui atau paham substansi. Dengan demikian, untuk
memberikan pemahaman kepada kaum mayoritas ini diperlukan adanya penjelasan-penjelasan
karena untuk mencapai pemahaman substansi ada banyak hal langkah yang harus
dilakukan.
Di antara langkah-langkah yang dapat dilakukan
adalah membuat aturan atau peraturan yang jelas agar setiap orang bisa bekerja,
melangkah, dan lain sebagainya dengan jelas. Ibaratkan substansi itu berada di
puncak tangga maka aturan-aturan atau peraturan adalah anak tangga yang
digunakan untuk mencapai puncak tangga tersebut.
Dengan demikian, tetap
diharuskan adanya batasan, penjelasan, dan peraturan agar pemahaman substansi
bisa dicapai.[]
0 Komentar