Rapor Belajar di Rumah

Hari ini, Sabtu 20 Juni 2020, pukul 08.00, saya akan mengambil rapor anak saya yang saat ini duduk di kelas 1 SD. Ini artinya rapor yang akan diterima berisi penilaian kenaikan kelas anak saya ke jenjang berikutnya, yaitu kelas 2. Menurut saya rapor yang akan saya ambil ini memiliki “keistimewaan” dibandingkan dengan rapor anak saya sebelumnya. Saya menyebutnya “istimewa” karena nilai yang ada di rapor anak saya kali ini adalah hasil dari bimbingan sistem pembelajaran saya.

Sebagaimana diketahui, sekira bulan Maret 2020 proses pembelajaran anak-anak, khususnya di daerah saya, baik SD/MI, SMP/MTs, maupun SMA/MA, “berpindah” dari sekolah ke rumah. Perpindahan ini terjadi bukan atas kemauan dari sekolah atau orang tua. Perpindahan itu terjadi karena ada yang memaksa. Tentunya “sesuatu” yang mampu memindahkan proses pembelajaran ini bukan sesuatu yang remeh. Ia pasti “sakti”, menakutkan, bahkan mematikan. Karena sebagaimana diketahui proses pembelajaran pendidikan dunia modern adalah di kelas.

Kelas menjadi syarat utama bagi sistem pembelajaran modern di Indonesia. Era pra kemerdekaan belajar dilakukan di surau, musholla, atau rumah kiai. Namun, seiring penerapan politik etis (balas budi) Belanda di Indonesia terjadi pengenalan sistem pendidikan baru. Belanda memperkenalkan sekolah dengan meja, kursi, dan papan tulis. Meskipun saat itu mayoritas anak-anak Indonesia tidak bisa bersekolah, tetapi segelintir anak Indonesia dari keturunan bangsawan dibolehkan bersekolah di sekolah-sekolah Belanda itu. Mereka yang berhasil belajar di sekolah Belanda ini kemudian mencoba menerapkan sistem pembelajaran ke sekolah-sekolah pribumi.

Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya sekolah pribumi berhasil menerapkan sistem pembelajaran modern ini. Sistem pembelajaran di kelas terus bertahan sampai saat ini. Meskipun ada usaha untuk membuat sistem pembelajaran lain seperti Sekolah Alam, namun sekolah di kelas masih menjadi pilihan utama.

Akan tetapi, pembelajaran di kelas harus “berhenti” sementara. Pembelajaran di kelas terpaksa “pindah” ke rumah masing-masing siswa. Perpindahan itu dikarenakan pandemi Covid-19. Akibat pandemi ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan social distancing (jaga jarak sosial) atau physical distancing (jaga jarak fisik) agar bisa meminimalisir penularan. Kebijakan ini sudah tentu berimplikasi langsung kepada proses pembelajaran kelas yang mengandalkan tatap muka antara guru dan murid.

Perpindahan tempat pembelajaran ini mau tidak mau dan suka tidak suka membuat semua pihak harus siap menghadapinya. Orang tua harus siap mendampingi anaknya. Jika selama ini orang tua bisa menyerahkan pembelajaran kepada guru—karena memang itu tugas guru—maka sejak Maret 2020 hingga waktu yang belum diketahui, orang tua menjadi “guru” bagi anaknya. Guru di sini memiliki arti orang tua benar-benar mendampingi proses pembelajaran anaknya.

Proses pembelajaran di rumah menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua. Di samping tantangan ilmu, waktu juga menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua. Dari sisi ilmu, orang tua harus mampu menjadi guru kelas. Sebagaimana diketahui guru kelas adalah guru yang memiliki kemampuan semua ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, beban mengajar guru kelas tidak dihitung berdasarkan JTM (Jam Tatap Muka), tetapi dihitung berdasarkan kelas yang diampu. Hal ini bisa dimaklumi karena beratnya tugas seorang guru kelas. Tugas berat menjadi guru kelas melahirkan status “istimewa” dibandingkan guru lainnya.

Saat ini, tugas guru kelas beralih ke orang tua. Orang tua dituntut mampu mengajarkan berbagai macam ilmu kepada anaknya. Mulai dari Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Pendidikan Agama Islam, Tematik, Prakarya, Muatan Lokal, dan pelajaran-pelajaran lainnya harus dikuasai orang tua. Semua pelajaran itu wajib dilahap orang tua agar pembelajaran anak menjadi maksimal. Bisa dibayangkan betapa beratnya tugas orang tua. Nampaknya, sekolah juga menyadari tugas berat orang tua sehingga ada sekolah yang memberikan sertifikat penghargaan kepada orang tua karena telah mengajari anak di rumah.

Tugas berat orang tua tidak hanya terkait dengan ilmu-ilmu mata pelajaran yang dipelajari dan diajari kepada anaknya. Tugas berat lainnya adalah mengontrol emosi dan psikologis. Misalnya bisa saja orang tua tidak bisa menahan diri ketika melihat anaknya lama dalam mengerjakan tugas. Sikap ini kemudian berujung kepada orang tua langsung “turun tangan” mengerjakan tugas anaknya. Tentu hal ini menurut saya kurang tepat dalam mendidik anak. Masih banyak dinamika lain yang terjadi pada saat orang tua mengajari anaknya, misalnya ketidakmampuan mengantrol amarah sehingga suaranya terdengar ke mana-mana. Hal seperti ini secara tidak langsung akan berakibat negatif kepada psikologis belajar anak.

Belum lagi masalah waktu. Orang tua yang bekerja pada saat anaknya belajar di rumah dipusingkan dengan pembelajaran anaknya. Siapa yang akan mendampingi anaknya? Kalau anaknya tidak didampingi maka proses pembelajarannya tidak akan maksimal. Sementara, jika mendampingi anaknya belajar di rumah maka pekerjaannya di kantor akan terganggu. Hal-hal semacam ini menjadi catatan dalam proses pembelajaran anak di rumah.

Demikian besar tantangan pembelajaran anak di rumah. Sebagai orang tua tentunya berharap kondisi ini segera berakhir agar anak-anak dapat kembali ke sekolah. Namun, tentunya harapan itu harus diiringi dengan kesiapan dari berbagai pihak agar anak-anak kembali sekolah dengan aman dan sehat.

Alhamdulillah, rapor anak saya selama belajar di rumah tidak mengecewakan. Hasilnya baik. Anak saya naik ke kelas 2. Mudah-mudahan rapor ini adalah penilaian objektif dari guru yang telah memberikan pendampingan jarak jauh terhadap proses pembelajaran anak dengan orang tuanya. Inilah hasil belajar di rumah. Inilah hasil pembelajaran yang didampingi langsung oleh orang tua yang berprofesi bukan sebagai guru kelas. Nilai ini adalah nilai terbaik yang bisa diberikan seorang anak saat harus menyesuaikan diri dengan kondisi yang tidak diinginkannya.

Posting Komentar

0 Komentar