KBBI memberikan definisi membaca adalah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati). (KBBI, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud) Dengan demikian, dalam membaca ada 2 (dua) hal yang harus dilakukan, yaitu melihat dan memahami. Jika, ada orang yang membaca tapi tidak memahami apa yang ia baca maka dapat dikatakan bahwa ia sebenarnya belum membaca.
Betapa banyak orang yang mengaku sudah membaca suatu tulisan, buku, artikel, dan lain sebagainya tapi pada saat ia menyampaikan hasil bacaannya ada kesan tidak “nyambung” dengan bacaannya. Ini tentu berbahaya karena bisa merugikan si penulis dan juga si pembaca yang bersangkutan. Si penulis akan dirugikan karena tulisannya menjadi bermakna lain sehingga pesan yang ia ingin sampaikan menjadi bias atau hilang. Si pembaca yang tidak “nyambung” itu juga rugi karena akan mencoreng namanya sendiri.
Urgensi membaca
Siapa pun akan mengakui bahwa membaca merupakan hal penting dalam upaya meningkatkan pengetahuan. Namun demikian, membaca hanyalah langkah awal dari 2 (dua) langkah penting dalam peningkatan ilmu pengetahuan. Langkah selanjutnya yang sangat penting adalah berpikir.
Pada era tahun 1970-an, pemerintah Republik Indonesia menggalakkan program pemberantasan buta aksara (tidak dapat membaca atau menulis). Program ini bertujuan untuk menjadikan seluruh rakyat Indonesia dapat membaca dan menulis huruf Latin. Pemerintah berusaha mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia dari bangsa-bangsa lainnya.
Program pemerintah ini selain membawa dampak positif ternyata juga membawa dampak kurang baik. Dampak positifnya tentu sudah tidak diragukan lagi, yaitu rakyat Indonesia bisa membaca. Hasilnya jika rakyat Indonesia bisa membaca maka semakin banyak pengetahuan yang bisa dipelajari dan diserap sehingga bangsa Indonesia menjadi maju.
Adapun dampak kurang baiknya adalah hilangnya tulisan Arab Melayu atau Arab Jawi di Indonesia. Program pemberantasan buta aksara berimplikasi pada orang yang bisa membaca tulisan Arab Melayu atau Arab Jawi dianggap tidak bisa membaca karena yang menjadi tujuan utama pemerintah adalah bisa membaca tulisan latin. Padahal, khazanah ilmu pengetahuan klasik Indonesia banyak yang ditulis dengan menggunakan tulisan Arab Melayu. Untuk kedua kalinya, setelah “pengharaman bahasa Belanda” oleh Soekarno dalam khazanah ilmu pengetahuan, masyarakat Indonesia harus mengalami keterputusan kesinambungan bacaan ilmu pengetahuan.
Kemampuan dalam membaca dan menulis menjadi tolok ukur bagi kemajuan suatu bangsa. Diharapkan dengan bisanya seluruh rakyat Indonesia membaca maka pengetahuan semakin mudah diserap dan dipelajari. Di samping itu, program-program pemerintah dapat dilaksanakan dengan mudah. Hal itu dikarenakan adanya asumsi bahwa bisa membaca dan menulis berarti pintar. Maka jika rakyat Indonesia pintar setiap program pemerintah akan tepat sasaran. Alasan lain pentingnya membaca adalah dengan membaca maka banyak informasi yang akan diterima oleh si pembaca. Informasi-informasi yang diterima atau diserap oleh otak dapat membantu kualitas pribadi si pembaca.
Pisau bermata dua
Namun demikian, ada ungkapan yang menyatakan bahwa semakin banyak membaca semakin bingung. Bahkan dengan semakin banyak membaca akan membuat seseorang merasa semakin bodoh. Hal itu dikarenakan otak orang yang banyak membaca telah mengumpulkan banyak informasi sehingga informasi-informasi yang ada di otaknya tersebut “berseliweran” dalam otaknya. Jika berkaca kepada ungkapan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ternyata pengaruh membaca tidak selamanya positif. Membaca juga dapat berakibat negatif kepada seseorang. Meskipun harus diakui bahwa membaca berdampak positif bagi anak-anak yang masih berada di tingkat pendidikan dasar karena membaca dan menulis merupakan tangga pertama bagi pencari ilmu pengetahuan. Adapun dalam tingkatan pendidikan tinggi, dampak negatif membaca ini akan lebih terasa.
Akibat negatif dari membaca pada level pendidikan tinggi adalah tumpulnya kemampuan analisis dan berpikir seseorang. Ini bisa terjadi karena orang yang banyak membaca terlalu mengumpulkan informasi. Tumpulnya daya pikir ini di antaranya dapat dibuktikan dengan adanya pernyataan “saya menulis menurut si anu, saya menulis berdasarkan teori anu, berdasarkan buku A atau penulis A masalah ini adalah....” dan lain-lain. Jika sudah seperti ini, pertanyaan besar yang muncul di mana letak si penulis atau si pembicara sendiri? Dengan selalu mengedepankan teori atau pemikiran orang lain kapan teori atau pemikiran sendiri akan muncul?
Dalam sejarah umat Islam, ketumpulan analisis dan ketidakmampuan dalam berpikir marak terjadi pada Abad Pertengahan. Pada abad ini, umat Islam lebih banyak membaca Alquran dan karya-karya ulama atau ilmuwan terdahulu, tapi minim menulis dan berijtihad (berpikir). Akibatnya, peradaban Islam mengalami kemunduran yang luar biasa bila dibandingkan dengan sebelumnya. Hal yang sama juga terjadi dengan Eropa pada Abad Kegelapan (The Dark Age). Pada masa ini, masyarakat Eropa hanya membaca Alkitab, tidak memikirkannya.
Mari berpikir
Betapa banyak orang yang membaca tetapi tidak berpikir. Setiap hari orang shalat dengan membaca Al-Fatihah tetapi tidak pernah memikirkan apa yang ia baca. Dikarenakan hanya membaca, maka hasilnya pun sekedar hanya membaca saja, tidak ada perubahan terhadap si pembaca atau lingkungannya. Seandainya orang yang membaca Alquran itu berpikir tentunya satu ayat Al-Fatihah sudah dapat menjauhkan seseorang dari berbuat semena-mena dan melakukan kejahatan. Hal itu dikarenakan dalam Al-Fatihah terdapat ayat yang berbunyi Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kalau Allah saja sebagai Pencipta sudah seperti itu maka kita sebagai mahluk-Nya tentu tidak pantas berbuat sesuatu yang jauh dari rasa kasih dan sayang.
Dengan adanya efek negatif dari membaca di atas sudah semestinya metode pendidikan dan pembelajaran di tingkat tinggi dirubah. Artinya dalam pendidikan, berpikir harus lebih diutamakan daripada membaca. Alangkah ruginya Allah menciptakan manusia dengan anugerah akal kalau hanya untuk membaca saja bukan berpikir. 
Tugas manusia yang berakal adalah membaca dan berpikir agar dunia beserta isinya dapat digunakan dengan sebaik-baiknya bagi kemanfaatan manusia. Bukankah sudah jelas Iqra’ (bacalah) sebagai wahyu pertama dari Allah kepada Muhammad Saw. Wahyu selanjutnya Allah gunakan tafakkarun yang artinya berpikir. Ini menunjukkan dengan jelas bahwa membaca adalah proses awal dalam perkembangan keilmuan seseorang, setelah seseorang bisa membaca maka kewajiban selanjutnya adalah berpikir. Dengan demikian, kemajuan dan kejayaan seseorang atau suatu bangsa ditentukan oleh budaya berpikir sekaligus membaca. Perlu ada kemauan dan keberanian untuk melakukan perubahan ini.[]