Takdir adalah sebuah kata yang akrab di lisan orang namun susah dipahami. Bahkan, saking sulit dan susahnya memaknai kata ini, muncul berbagai aliran pemikiran dan keyakinan dalam Islam. Tidak jarang aliran-aliran itu memiliki pandangan yang saling bertentangan satu sama lain. 

Kata takdir diserap dari bahasa Arab qadara yang memiliki arti mengukur, memberi kadar atau ukuran. Berdasarkan kata itu, apabila ada yang mengatakan, "Allah telah menakdirkan demikian," maka itu berarti, "Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya." Dengan demikian, tidak ada sesuatu pun yang terjadi  di alam semesta ini tanpa  takdir,  termasuk  manusia. Semua peristiwa  berada  dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan.

Meskipun definisi takdir sudah ada dan demikian jelas tetapi di kalangan umat Islam tidak ada kesepakatan mengenai apa itu takdir. Di kalangan umat Islam muncul perdebatan-perdebatan terkait dengan takdir. Perdebatan-perdebatan itu menjurus kepada dua kelompok atau pandangan, yaitu yang menolak takdir dan menerima takdir.


Bagi yang menolak takdir berpendapat bahwa manusia bebas melakukan  apa saja. Menurut mereka bukankah Allah  telah menganugerahkan kebebasan untuk memilih kepada manusia? Selanjutnya mereka mempertanyakan mengapa manusia harus dihukum kalau  ia  tidak  memiliki  kebebasan  itu? Golongan yang menolak takdir ini menyitir firman Allah yang  berbunyi, "Siapa yang  hendak  beriman  silakan  beriman,  siapa  yang hendak kufur silakan juga kufur." (QS. Al-Kahf: 29).

Sementara itu, golongan yang menerima dan mempercayai takdir meyakini bahwa takdir itu memang ada. Sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis. Bagi golongan ini, penolakan terhadap takdir tidak saja menyalahi Al-Qur’an dan Hadis tetapi juga mengurangi kebesaran dan kekuasaan Allah. Menurut mereka bukankah Allah Mahakuasa? Jelas Allah SWT berfirman, yang artinya "Allah menciptakan kamu  dan  apa  yang  kamu  lakukan."  (QS. Al-Shaffat: 96).

Menurut golongan yang menerima dan meyakini takdir ayat Al-Qur'an di atas dengan jelas menunjukkan bahwa Tuhan menciptakan apa yang kita lakukan? Di samping itu, dalam ayat yang lain Allah juga menyatakan bahwa, "Apa yang kamu kehendaki, (tidak dapat terlaksana) kecuali dengan kehendak Allah jua." (QS. Al-Insan: 30). Golongan ini juga mengetengahkan Hadis Rasul untuk mendukung pendapatnya, yaitu Hadis yang artinya berbunyi, “Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Ya Allah, tidak ada yang sanggup menghalangi apa yang Engkau beri, tidak juga ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi, tidak berguna upaya yang bersungguh-sungguh. Semua bersumber dari-Mu.” (HR. Bukhari)

Demikianlah perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Lalu bagaimana sebenarnya sahabat utama Rasulullah dalam menyikapi takdir. Bagi para sahabat Rasulullah persoalan takdir bukanlah permasalah yang perlu diperdebatkan. Mereka sepenuhnya yakin takdir Allah meliputi semua makhluk termasuk manusia. Namun demikian, keyakinan tersebut sedikit pun tidak menghalangi mereka menyingsingkan lengan baju untuk berjuang demi tegaknya syiar Islam. Dan seandainya dalam perjuangan itu mereka mengalami kekalahan atau apa yang didapatkan tidak sesuai dengan apa yang direncanakan, maka sedikit pun mereka tidak menimpakan hal itu kepada  Allah SWT. Sikap para sahabat Rasulullah ini sebenarnya dapat dimengerti atau dipahami dengan mudah. Sikap itu muncul karena mereka tidak memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara parsial. Pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an bersifat holistik. Ayat demi ayat dipahami sesuai konteksnya, sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Diceritakan Umar  bin  Khattab mendengar kabar bahwa di  Syam  (Syria, Palestina, dan sekitarnya) terjadi wabah penyakit. Pada saat itu, Umar  bermaksud berkunjung  ke  sana  tetapi kemudian membatalkan rencananya itu. Kejadian ini kemudian menarik seorang muslim untuk bertanya kepada Umar, "Apakah Anda lari atau menghindar dari takdir Tuhan?" Umar lalu menjawab, "Saya lari atau menghindar dari takdir Tuhan untuk menuju takdir-Nya yang lain."

Hal yang sama juga pernah dialami oleh Ali bin Abi Thalib. Suatu saat Ali bin Abi Thalib sedang duduk bersandar di tembok. Ternyata tembok itu rapuh. Dia kemudian pindah ke tempat lain. Beberapa orang yang ada di sekelilingnya bertanya seperti pertanyaan yang disampaikan kepada Umar bin Khattab di atas. Dan jawaban Ali bin Abi Thalib memiliki kesamaan makna dengan jawaban Umar bin Khattab.

Berjangkitnya penyakit dan rubuhnya tembok yang rapuh adalah berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah. Jika seseorang tidak menghindar maka ia akan menerima akibatnya. Akibat  yang  menimpa orang  itu juga takdir. Namun, jika ia menghindar dan berhasil luput dari marabahaya  maka hal itu juga takdir.  Di sini ada 2 (dua) takdir, yaitu baik dan buruk. Di sinilah kasih sayang Allah kepada manusia. Allah menganugerahkan manusia akal untuk berfikir sehingga manusia memiliki kemampuan untuk memilah dan  memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Anugerah kemampuan ini pun merupakan takdir-Nya. Jika demikian, dapat disimpulkan bahwa manusia tidak dapat terlepas dari  takdir, baik yang baik maupun buruk.

Namun demikian, manusia mempunyai kemampuan terbatas. Kemampuan yang diberikan kepada manusia tidak terlepas dari “standar” yang sudah ditetapkan Allah kepadanya. Manusia, misalnya, tidak dapat terbang. Manusia tidak mampu melampaui batasnya, kecuali jika ia menggunakan akalnya untuk menciptakan alat terbang. Namun perlu diketahui bahwa akal manusia pun mempunyai ukuran atau batas yang tidak mampu ia lampaui.

Di samping itu, manusia selalu di bawah hukum-hukum Allah. Akibatnya, segala hal yang manusia lakukan tidak bisa terlepas dari hukum-hukum Allah. Hukum-hukum Allah itu juga mempunyai kadar dan ukuran tertentu. Namun karena hukum-hukum Allah itu banyak, dan manusia dianugerahi kemampuan untuk memilih, maka manusia dapat memilih takdir-takdir yang ditetapkan Allah. Api ditetapkan Allah panas dan membakar, angin dapat menghadirkan kesejukan. Itulah takdir Tuhan—manusia boleh memilih api yang membakar atau angin yang sejuk.

Untuk menegaskan adanya takdir, Rasulullah SAW mengajarkan doa kepada umat Islam, yaitu: "Wahai Allah, jangan  engkau  biarkan  aku  sendiri  (dengan pertimbangan nafsu akalku saja), walau sekejap." Di samping itu, Allah Swt. menuntun dan menunjukkan umat Islam arah  yang  seharusnya  mereka  tuju. Allah SWT berfirman, yang artinya “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi,  yang  menciptakan (semua  mahluk)  dan  menyempurnakannya, yang memberi takdir kemudian mengarahkan(nya)." (QS. Al-A'la: 1-3).

Tentunya tidak baik jika hanya yang merugikan saja yang disebut takdir, karena yang positif pun takdir. Jika melakukan ini, muncullah sikap 'tidak menyucikan Allah”, serta bertentangan dengan petunjuk Nabi Saw. Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “dan  kamu  harus  percaya kepada  takdir-Nya yang baik maupun yang buruk." Dengan demikian, menjadi jelaslah kiranya bahwa adanya takdir tidak menghalangi manusia untuk berusaha menentukan masa depannya sendiri, tentunya sambil memohon bantuan Illahi.[]