Ijtihad: Benarkah Sudah Tertutup?

Pengertian Ijtihad

Ijtihad memiliki beberapa pengertian. Ada yang mengartikan ijtihad sebagai pengerahan segenap kemampuan (daya upaya) untuk melakukan sesuatu yang susah atau sulit. Dengan demikian, dalam ijtihad dibutuhkan usaha yang sungguh-sungguh karena pekerjaan yang dilakukan bukan pekerjaan yang mudah atau gampang. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan definisi ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan para ahli agama untuk mencapai suatu putusan (simpulan) hukum syarak mengenai kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam Al-Qur'an dan Sunah. Pengertian KBBI ini serupa dengan pengertian ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan atau kesanggupan dari seorang ahli fiqh (mujtahid) untuk memperoleh pengertian tingkat dhann (kebenarannya  tidak bersifat  pasti) terhadap sesuatu hukum syara’.

Sementara itu, sahabat Rasulullah juga memberikan definisi terhadap ijtihad. Menurut mereka ijtihad adalah penelitian, pemikiran, dan/atau perenungan untuk memperoleh sesuatu yang hasilnya paling dekat dengan Al-Qur’an dan  Sunnah. Makna “paling dekat” diperoleh dari nash (Al-Qur’an dan Hadis) atau dikenal dengan qiyas (ma'qul nash) dan dari hikmah syari'ah atau dikenal dengan mashlahat.

Legalisasi Ijtihad

Ijtihad dibenarkan bahkan sangat dianjurkan oleh  Islam. Islam tidak hanya memberikan pembenaran terhadap ijtihad, tetapi juga membenarkan adanya  perbedaan pendapat (khilafiyah) sebagai hasil ijtihad. Hal ini didukung dengan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi, “Apabila  seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh 2 (dua) pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Namun, jika hakim akan memutuskan perkara, dan ia berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya).” (HR. Bukhari-Muslim)

Hadis  di  atas  menunjukkan bahwa ijtihad dibenarkan oleh Islam, bahkan sangat didukung karena meskipun hasil ijtihad tidak tepat, Islam tetap memberikan pahala kepada mujtahid. Berdasarkan Hadis tersebut, muncul ungkapan di kalangan para mujtahid yang berbunyi, "pendapat kami benar, tetapi mengandung kemungkinan  salah,  dan  pendapat  selain kami salah, tetapi mengandung kemungkinan benar." 

Berdasarkan ungkapan di atas maka dalam ijtihad tidak ada pembatalan antara ijtihad yang satu dengan ijtihad lainnya. Meskipun, misalnya, ijtihad yang satu itu lebih lemah dalilnya dibandingkan ijtihad yang lainnya tersebut. Hal ini tentunya akan melahirkan sikap toleransi dan saling menghormati antara satu pendapat dengan pendapat lainnya. Hasilnya kalau sikap ini terus dilestarikan dan dijaga maka akan melahirkan generasi Islam yang siap bersaing dan berjuang sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran.

Tingkatan-tingkatan Ijtihad

Tingkatan dalam ijtihad muncul disebabkan adanya metode atau cara yang berbeda-beda di antara para mujtahid. Terdapat 3 (tiga) tingkatan dalam ijtihad, yaitu:

  1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah istinbath atau penetapan. Norma dan kaidah itu digunakan sebagai sistem atau metode oleh seorang mujtahid dalam menggali hukum. Lebih jauh, manakala dibutuhkan atau dipandang perlu, norma-norma dan kaidah itu dapat diubahnya. Mujtahid yang termasuk ke dalam tingkatan ini di antaranya adalah Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad.
  2. Ijtihad Muntasib berada di bawah tingkatan ijtihad muthlaq/mustaqil. Ijtihad muntasib memiliki makna bahwa seorang mujtahid melakukan ijtihad dengan mempergunakan norma dan kaidah istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi dalam menggali hukum dari sumbernya, para mujtahid tingkatan ini memakai sistem atau metode yang telah dirumuskan atau diciptakan oleh mujtahid muthlaq/Mustaqil. Artinya mereka tidak menciptakan sendiri norma dan kaidahnya. Mereka hanya menafsirkan norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Di antara mujtahid tingkatan ini yang termasuk ke dalam mazhab Syafi'i adalah seperti Muzany dan Buwaithy. Sementara dari madzhab Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf.
  3. Tingkatan selanjutnya adalah ijtihad mazhab atau fatwa. Mujtahid tingkatan ini bernama mujtahid mazhab/fatwa. Ijtihad ini dilakukan mujtahid dalam internal madzhab tertentu. Dalam berijtihad, mereka tetap mengikuti norma dan kaidah istinbath imamnya, demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah dihasilkan imamnya. Para mujtahid di tingkatan ini melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang memang belum ada ijtihad oleh imamnya. Mereka men-takhrij-kan pendapat imamnya. Mereka juga menyeleksi beberapa pendapat yang diambil dari imamnya sehingga jelas mana yang shahih (kuat) dan mana yang dha’if (lemah). Mereka yang bisa digolongkan dalam tingkatan ini di antaranya adalah Imam Ghazali dan Juwaini dari madzhab Syafi'i. 

Ruang Lingkup Ijtihad

Harus diketahui bahwa tidak semua perkara atau hukum dapat diijtihadkan. Di antara perkara atau hukum yang dapat diijtihadkan adalah:

  1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh Al-Qur’an atau Sunnah secara jelas;
  2. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i atau disepakati oleh ulama;
  3. Dalil-dalil hukum yang masih diperselisihkan;
  4. Hukum Islam yang 'illat-nya dapat diketahui mujtahid.

Sebaliknya,  ulama  telah  bersepakat  bahwa  ijtihad tidak dibenarkan pada masalah-masalah berikut ini, yaitu:

  1. Hukum Islam yang telah ditegaskan (qath’iy) Al-Qur’an dan Hadis;
  2. Hukum Islam yang telah disepakati (ijma’) ulama;
  3. Hukum Islam yang 'illat-nya tidak dapat dicerna dan diketahui mujtahid.

Selain itu, ijtihad akan gugur  dengan  sendirinya  apabila hasil  ijtihad  itu berlawanan  dengan  nash (Al-Qur’an dan Hadis).  Hal  ini  sejalan  dengan kaidah yang berbunyi, "tidak ada ijtihad dalam melawan nash (Al-Qur’an dan Hadis)."

Syarat-syarat Melakukan Ijtihad

Sebelum seseorang melakukan ijtihad, ia harus memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat ini penting ada agar tidak sembarangan orang melakukan tindakan atau pekerjaan penting ini. Di antara syarat-syarat tersebut adalah:

  1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan masalah hukum. Artinya seorang mujtahid memiliki pengetahuan dalam membahas ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an;
  2. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang Hadis Rasul yang berkaitan dengan masalah hukum. Artinya seorang mujtahid memiliki kemampuan membahas setiap Hadis Rasul untuk kepentingan ijtihad;
  3. Mengetahui asbabun nuzul (sebab turunnya Al-Qur'an) dan asbabul wurud (sebab disabdakannya Hadis);
  4. Mengetahui ilmu rijalul hadis;
  5. Menguasai bahasa Arab dengan mahir. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an dan Hadis berbahasa Arab;
  6. Mengetahui ilmu nasikh dan mansukh;
  7. Menguasai kaidah-kaidah ushul fiqh;
  8. Menguasai hukum-hukum ijma’;
  9. Menguasai qiyas; dan
  10. Menguasasi ilmu mantiq atau logika.

Benarkah Pintu Ijtihad Tertutup?

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait dengan apakah pintu ijtihad sudah tertutup atau belum. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa pintu  ijtihad telah tertutup. Hal ini dikarenakan mereka berpandangan bahwa ijtihad adalah pekerjaan mujtahid sehingga pintu ijtihad telah tertutup  sejak wafatnya imam-imam mujtahid kenamaan. Pendapat ini dikampanyekan oleh ulama-ulama mutakhirin pada awal abad ke-4 Hijriah setelah dunia Islam diliputi kabut ta'ashub madzhab serta banyaknya mujtahid karbitan yang tampil mengaku sebagai mujtahid.

Sementara itu, sebagian ulama lagi berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka  atau belum tertutup. Menurut mereka pintu ijtihad dapat  dimasuki  oleh  siapa  saja  yang memiliki kuncinya (memenuhi  persyaratan). Tetap terbukanya pintu ijtihad dikarenakan ijtihad adalah sebagai sumber hukum. Pendapat  ini antara lain didukung oleh Imam al-Syaukani pada pertengahan abad ke-13 Hijriah.


Menurut golongan yang mendukung tetap terbukanya pintu ijtihad, menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang semestinya fleksibel dan dinamis menjadi kaku dan beku. Dengan terbukanya pintu ijtihad maka setiap permasalahan baru yang muncul dan dihadapi umat, akan dapat diketahui hukum atau solusinya. Hasilnya maka hukum Islam akan selalu berkembang dan bergerak maju serta senantiasa mampu menjawab tantangan zaman. Faktor lain yang mengharuskan pintu ijtihad tetap terbuka adalah pemberian kesempatan kepada ulama Islam untuk menciptakan pemikiran-pemikiran yang baik dan “segar” dalam memanfaatkan dan menggali sumber atau dalil hukum Islam.

Berdasarkan kedua pendapat tersebut kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan memang harus terbuka. Hal ini penting demi kemajuan umat Islam sendiri dalam menghadapi realitas kehidupan modern yang semakin kompleks dan canggih. Bisa dibayangkan betap sulitnya menggunakan hukum untuk suatu masyarakat yang tata sosial kebudayaannya sangat rumit dan kompleks dengan menggunakan hukum yang diciptakan dari masyarakat yang tata sosial kebudayaannya masih sederhana.[]

Posting Komentar

0 Komentar