Kemajuan Kota Katulistiwa

Pontianak salah satu kota besar di Kalimantan. Sebagai ibu kota pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak memiliki segala hal untuk menopang kemajuan daerahnya. Pusat-pusat bisnis dan pertokoan berdiri megah di kota ini. Pasar-pasar tradisional dan modern mudah ditemukan di kota Pontianak. Sarana dan prasarana yang dimiliki kota Pontianak cukup mendukung kemajuan ekonominya. Sebagai contoh bandar udara dan pelabuhan yang ada di kota ini sudah bertaraf internasional.

Bandar Udara Supadio sebagai gerbang masuk ke Pontianak sudah memiliki standar bandar udara modern. Bangunan megah dan luas menjadi poin penting kemajuan penerbangan di daerah Kalimantan Barat. Dengan bandara yang megah dan modern, pengunjung merasa nyaman saat baru menginjakkan kaki di Kalimantan Barat. Efek berikutnya, pengunjung akan tertarik lebih jauh untuk melangkahkan kakinya ke daerah yang ada di Kalimantan Barat.

Di samping Bandar Udara Supadio yang megah dan modern, Pontianak juga memiliki pelabuhan kapal yang besar. Pelabuhan Dwikora Pontianak terletak di pinggiran Sungai Kapuas. Pelabuhan ini selain melayani kapal penumpang, juga melayani kapal-kapal kargo dan tanker berukuran jumbo. Akibatnya, Sungai Kapuas tidak hanya dilalui kapal-kapal berukuran kecil seperti perahu dan speed boad, tetapi kapal-kapal besar seperti kargo, tanker, dan tongkang melintasi sungai terpanjang di Indonesia ini. Tidak jarang kapal-kapal berukuran besar ini harus antri sebelum masuk ke Pelabuhan Dwikora Pontianak.

Tugu Katulistiwa

Pontianak dilalui garis Katulistiwa. Oleh sebab itu, saat siang hari sinar matahari cukup menyengat kulit. Sebagai bukti kota ini dilalui oleh garis Katulistiwa, dibangunlah Tugu Katulistiwa. Berdasarkan piagam kronologis yang terdapat di bawah kubah duplikat Tugu Katulistiwa tercatat bahwa tugu pertama dibangun tahun 1928. Piagam ini menyebutkan bahwa berdasarkan catatan yang diperoleh tahun 1941, dari V.en. V oleh Opsiter Wiese dikutip dari Bijdragentot de Geographe dari Chep Van den Topographeschen dien in Nederlandsch Indie: Den 31 Sten Maart 1928 telah datang di Pontianak, satu Ekspedisi Internasional yang dipimpin oleh seorang ahli Geographie berkebangsaan Belanda untuk menentukan titik/tonggak garis Equator di kota Pontianak.


Duplikat Tugu Katulistiwa yang dibangun tahun 1990.

Tugu Katulistiwa yang terletak di dalam kubah.


Pada tahun 1930, tugu pertama disempurnakan dengan membuat tonggak lingkaran dan tanda panah. Kemudian tahun 1938, kembali dilakukan penyempurnaan oleh Opsiter/Architech Silaban. Penyempurnaan itu dilakukan pada pembuatan 4 (empat) buah tonggak belian. Selanjutnya, tahun 1990 dilakukan renovasi dengan pembuatan kubah dan duplikat Tugu Katulistiwa dengan ukuran 5 (lima) kali lebih besar dari tugu aslinya.

Dengan demikian, tugu yang terlihat menjulang tinggi sebenarnya bukanlah tugu asli yang dulu dibangun pertama kali tahun 1928. Tugu tinggi itu hanyalah duplikat yang dibangun tahun 1990. Oleh sebab itu, jika pengunjung bermaksud ingin melihat bentuk tugu aslinya maka harus masuk ke bawah kubah yang terletak di bawah duplikat Tugu Katulistiwa. Hal ini perlu diketahui agar tidak terjadi kekeliruan sebagaimana yang biasa terjadi pada pengunjung lainnya. Tidak jarang pengunjung tidak tahu atau keliru sehingga menganggap duplikat Tugu Katulistiwa yang tinggi itu adalah tugu asli pertama yang dibangun. Padahal, tugu aslinya bukan itu.


Foto atau gambar Tugu Katulistiwa tahun 1940.

Piagam di kubah Tugu Katulistiwa juga menyebutkan bahwa setiap tahun tanggal 21-23 Maret dan tanggal 23 September benda-benda tegak yang ada di sekitar Tugu Katulistiwa tidak ada bayangannya. Hal ini menegaskan atau membuktikan bahwa Tugu Katulistiwa benar terletak tepat pada garis lintang Nol derajat.

Selain dapat melihat Tugu Katulistiwa, di sekitar kawasan tersebut juga terdapat toko-toko yang menjual aneka souvenir khas Pontianak. Pengunjung juga dapat melihat bola dunia yang dikelilingi tempat duduk. Tidak jauh dari bola dunia ini, pengunjung dapat menikmati makanan di atas perahu yang berjangkar di pinggir Sungai Kapuas. Makanan/minuman yang dijual di warung itu tergolong murah. Sambil menikmati makanan/minuman, pengunjung dapat merasakan sejuknya angin Sungai Kapuas. Dari warung perahu itu, pengunjung juga dapat melihat antrian kapal-kapal besar menunggu masuk ke Pelabuhan Dwikora Pontianak.


Area di sekitar Tugu Katulistiwa.


Antrian kapal-kapal besar menunggu sandar di Pelabuhan Dwikora Pontianak. Kapal-kapal ini terlihat jelas di warung-warung pinggir Sungai Kapuas yang ada di area Tugu Katulistiwa.

Istana Kadriah

Selain Tugu Katulistiwa, kota Pontianak juga memiliki tempat wisata lain yang cukup terkenal, yaitu Istana Kadriah. Istana Kadriah didirikan tahun 1771 M oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie. Istana megah yang terbuat dari kayu ini memiliki warna kuning keemasan. Di dalam istana terdapat singgasana sultan dan kamar-kamar istrinya. Menurut cerita dari cicit Kesultanan Kadriah yang saya temui di dalam istana, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie memiliki 33 istri. Semua istrinya itu hidup bersama di istana yang dibangun oleh Sultan.


Istana Kadriah. Nampak di depannya 3 (tiga) buah meriam kecil.


Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman dilihat dari seberang jembatan sisi Istana Kadriah.



Istana Kadriah nampak dari kejauhan.



Singgasana Sultan yang terdapat di dalam Istana Kadriah.



Kaca Seribu yang ada di Istana Kadriah. Konon di Indonesia hanya ada 2 (dua) Kaca Seribu. 1 (satu) di Istana Bogor dan 1 (satu) di Istana Kadriah.

Menurut cerita dari cicit, Sultan Syarif Abdurrahman merupakan pendiri kota Pontianak. Dahulu kala, Sultan menaiki perahu kemudian berhenti di daerah yang banyak “hantu pontianak”. Setelah “mengalahkan” dan mengusir hantu-hantu itu, Sultan menebang dan mendirikan pemukiman yang di kemudian hari dikenal dengan nama Pontianak.

Salah satu keturunan Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie yang terkenal adalah Sultan Hamid II. Menurut sejarah, Sultan Hamid II berjasa besar dalam menggambar lambang negara Pancasila. Di dalam Istana Kadriah, kita bisa melihat hasil karya dari Sultan Hamid II. Selain itu, di dalam istana juga terdapat foto-foto dan aneka ragam peninggalan dari Kesultanan Kadriah. Salah satu peninggalan yang menarik adalah Kaca Seribu. Disebut demikian karena bayangan yang ada di dalam kaca akan terlihat banyak.

Jika kita berdiri tepat di depan singgasana sultan, maka kita akan melihat Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman. Menurut cerita, sultan membangun masjid tepat di depan singgasananya agar selalu ingat beribadah. Dari istana menuju ke masjid kita terlebih dahulu melewati jembatan kayu. Saat hari Jumat, masjid ini dipenuhi oleh jamaah shalat Jumat. Bahkan, saat saya shalat Jumat di sini, meskipun di masa pandemi Covid-19, tidak ada jarak minimal 1 (satu) meter antar jamaah. Jamaah shalat dengan rapat. Di samping itu, kebanyakan jamaah tidak ada yang memakai masker.


Jamaah Shalat Jumat keluar dari Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman.

Jembatan yang melintasi Sungai Kapuas.


Waterfront di pinggiran Sungai Kapuas.

Kota Pontianak terus berkembang ke arah kemajuan. Pembangunan masih terus digalakkan. Area pinggiran Sungai Kapuas juga dibangun. Terdapat area yang dinamakan Waterfront Kota Pontianak. Di area ini, terdapat jogging track yang nyaman untuk berlari. Di samping itu, di Waterfront juga terdapat tempat santai untuk menikmati makan dan minuman. Masyarakat sekitar membangun warung-warung makanan yang menghadap ke Sungai Kapuas agar pengunjung dapat menikmati pemandangan dan lalu lintas alat transportasi di Sungai Kapuas sambil menyeruput minuman atau menyantap makanan.[]

Posting Komentar

0 Komentar