Masjid Djami' Toea Palopo ke Kete' Kesu Toraja

Provinsi Sulawesi Selatan memiliki banyak tempat atau daerah yang menarik untuk dikunjungi. Tempat-tempat itu tersebar di berbagai kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan. Tidak hanya keindahan alam atau pemandangan yang menjadi daya tarik pengunjung untuk datang, tetapi budaya dan adat istiadat juga menjadi daya tarik spesial bagi pengunjung.

Keindahan Pantai Tanjung Bira di Bulukumba sudah pernah saya lihat langsung sekira tahun 2018. Pantai putih dan ikan-ikan kecil yang muncul saat diberikan remah-remah roti menjadi daya tarik pengunjung di Pantai Tanjung Bira. Sementara itu, Rammang-Rammang di Maros juga pernah saya kunjungi sekira tahun 2019. Begitu pun dengan Taman Nasional Bantimurung juga sempat saya kunjungi di tahun yang sama. Seperti sudah saya sebutkan di awal tulisan ini, banyak tempat di Sulawesi Selatan yang menarik dikunjungi. Saya bersyukur memiliki waktu dan kesempatan untuk mengunjungi beberapa tempat itu.

Di penghujung tahun 2020 ini, saat pandemi Covid-19 masih belum menampakkan tanda-tanda akan berakhir, saya kembali diberi kesempatan Yang Mahakuasa untuk berkunjung ke Sulawesi Selatan. Kali ini saya berkunjung ke Kota Palopo dan Toraja. Perjalanan ke Palopo dari Makassar bisa melalui jalan darat maupun udara. Saya memilih penerbangan karena hanya memakan waktu sekira 50 menit saja. Saat saya ke Palopo, maskapai yang melayani penerbangan ke Palopo ada 2 (dua), yaitu Citilink dan Wings Air. Pesawat yang terbang ke Palopo berjenis ATR.

Dengan Citilink saya terbang ke Palopo sekitar pukul 14.00 Wita. Pukul 15.00 Wita kurang beberapa menit pesawat yang saya tumpangi mendarat di Bandara Ilagaligo Bua. Cuaca terik dan panas menyambut langkah kaki pertama saya menginjakkan kaki di tanah Luwu. Perjalanan dari Bandara Ilagaligo ke Palopo memakan waktu lebih kurang 30 menitan. Sepanjang perjalanan ke Palopo, saya melewati perkampungan dan pemandangan indah. Saya juga melewati puncak yang mana dari posisi ini saya bisa melihat kota Palopo.

Palopo merupakan salah satu kota tua di Sulawesi Selatan. Di kota ini masih bisa dijumpai bangunan-bangunan tua yang didirikan Belanda. Misalnya Istana Datu Luwu yang terletak tidak jauh dari hotel tempat saya menginap. Istana ini dibangun kolonial Belanda sekira tahun 1920-an.

Masjid Djami’ Toea Palopo

Tidak jauh dari Istana Datu Luwu juga terdapat masjid tua yang pertama didirikan di Palopo. Masjid ini terletak tidak jauh dari hotel tempat saya menginap sehingga saya berkesempatan shalat di situ. Namun, meskipun sudah ada peringatan penggunaan protokol kesehatan di masjid ini, jamaah yang shalat banyak yang tidak mengenakan masker. Shaf shalat pun tidak memiliki jarak antar satu jamaah dengan jamaah lainnya.

Masjid Djami’ Toea dibangun sekira tahun 1604. Jika dihitung sampai tahun 2020 maka usia masjid ini sudah mencapai 416 tahun. Masjid ini dibangun oleh Raja Luwu, Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe. Arsitek yang diserahi tugas membangun masjid ini adalah Fung Mante.



Tembok tebal Masjid Djami' Toea Palopo
Masjid yang memiliki atap beringkat tiga ini berada tepat di pinggir jalan dekat persimpangan jalan sehingga mudah diakses oleh masyarakat. Di dalam masjid terdapat mimbar tinggi yang posisinya tidak lurus arah kiblat. Hal ini wajar karena usia masjid yang sudah ratusan tahun sehingga mengalami pergeseran arah kiblat. Tepat di tengah masjid juga masih terdapat kayu atau tiang besar penopang masjid. Tiang besar ini dilindungi oleh kaca sehingga tidak bisa disentuh atau dipegang oleh jamaah.

Masjid Djami’ Toea memiliki dinding-dinding tebal. Dinding ini memiliki ketebalan laiknya dinding benteng. Bisa dipastikan saat ini sudah tidak ada lagi bangunan yang memiliki ketebalan dinding seperti yang dimiliki oleh Masjid Djami’ Toea. Ketebalan dinding inilah yang membuatnya mampu bertahan hingga usia ratusan tahun.

Di Palopo pengunjung juga bisa menikmati pemandangan Kota Palopo dari Bukit Kambo. Pemandangan dari Bukit Kambo sangat indah. Dengan ditemani segelas saraba dan singkong goreng, serta dinginnya hembusan angin Bukit Kambo, kita bisa melihat laut dan Kota Palopo.

Di Palopo juga terdapat tempat-tempat makan dan minum di dekat laut, tepatnya di sekitaran dermaga Palopo. Meja dan kursi diletakkan atau ditata di area terbuka sehingga pengunjung dapat melihat langsung ke laut. Pengunjung juga dapat merasakan semilir angin laut langsung menerpa wajah. Namun disarankan bagi pengunjung yang bermaksud mengunjungi tempat ini sebaiknya datang sore atau malam hari agar cuaca panas tidak menyengat kulit.

Toraja

Berdasarkan informasi dari teman warga Palopo, perjalanan dari Palopo ke Toraja dapat ditempuh dengan waktu 1 jam 30 menit. Perjalanan ini ditempuh melalui jalan utama. Namun sayangnya, jalan yang biasa dilalui ini tidak bisa dilewati karena terputus akibat longsor. Ada 2 (dua) jalan alternatif yang bisa dilalui. Pertama melalui Enrekang yang memakan waktu lama sekali sekitar lebih kurang 7-8 jam. Kedua melalui perbukitan yang medannya berliku dan berbatu yang memakan waktu sekitar lebih kurang 3 jam.

Dengan selisih waktu yang mencolok tersebut, perjalanan ke Toraja diputuskan melalui jalanan berbukit dan berbatu. Agar sampai di Toraja pada pagi atau subuh hari maka perjalanan dari Palopo dimulai pukul 11.30. Yang bertugas menyetir mobil adalah orang asli Toraja karena mengenal medan perjalanan.

Tantangan perjalanan ke Toraja dimulai saat memasuki jalan yang berliku dan berbatu. Di tengah malam buta dan jalanan yang jelek mobil yang saya tumpangi melaju dengan kencang. Di kanan kiri jalan yang terlihat hanyalah gelap pepohonan dan beberapa titik cahaya lampu. Di satu posisi, mobil yang saya tumpangi harus melewati jalanan berlumpur yang terkadang membuat rodanya berputar kencang.

Ternyata di gelap malam mobil yang saya tumpangi juga berpapasan dengan mobil lain yang juga menuju ke Toraja. Kami berpapasan dengan mobil truk mini yang membawa sayuran, mini bus, bahkan bus. Suatu ketika kami harus berhenti sejenak karena ada mobil bus yang tidak mampu menaiki jalan menanjak. Setelah mencoba beberapa kali bus tersebut tetap tidak berhasil menaiki jalan menanjak itu. Kami pun kemudian “dipersilahkan” mendahului bus itu.

Negeri di Atas Awan

Setelah melalui medan perjalanan yang berat, sekira pukul 04.00 dini hari kami sampai di Negeri di Atas Awan. Saat tiba di lokasi, awan belum terbentuk karena masih dini hari. Udara dingin langsung menerpa kulit. Namun demikian, lokasi parkir kendaraan sudah hampir penuh terisi pengunjung. Para pengunjung nampak antusias menunggu awan muncul sambil berfoto ria. Menurut teman, awan akan terbentuk sekira pukul 05.00-06.00 Wita. Jika kondisi cuaca sedang bagus, awan yang terbentuk bahkan sampai ke pagar pembatas pengunjung dengan jurang atau tebing.





Saat tiba pukul 05.00 Wita, benar saja awan mulai terbentuk. Namun sayangnya, sampai dengan pukul 06.00 Wita awan yang terbentuk tidak sampai ke pagar pembatas. Saya hanya bisa melihat atau menyaksikan awan di kejauhan. Meskipun demikian, keindahan Negeri di Atas Awan masih terasa meskipun awan yang terlihat tidak maksimal menutupi lembah yang ada di bawahnya.

Kete’ Kesu

Sekitar pukul 07.30 saya dan teman-teman menuruni Negeri di Atas Awan. Tempat berikutnya yang menjadi tujuan kami adalah Kete’ Kesu. Kete’ Kesu merupakan pemakaman besar di Toraja. Sebelum memasuki area pemakaman, pengunjung dapat menyaksikan deretan rumah adat Toraja. Di rumah-rumah ini terdapat ornamen kepala kerbau dan tanduk kerbau yang dipotong dalam upacara adat. Selain itu, rahang kerbau juga terlihat digantung di samping rumah-rumah bergaya khas Toraja.

Sebelum memasuki area pemakaman, saya melewati area penjualan souvenir khas Toraja. Setelah melewati area ini, saya menemukan rumah-rumah pemakaman. Di dalam rumah-rumah ini terdapat mayat-mayat. Di depan rumah, juga tergantung foto-foto mayat yang ada di dalam rumah. Mayat-mayat yang diletakkan di dalam rumah ini merupakan mayat-mayat yang belum lama meninggal. Artinya mereka sudah memiliki agama. Bagi yang masih mempercayai agama kepercayaan dimakamkan di perbukitan.

Perbukitan di mana terletak tengkorak manusia dan aneka jenis kayu penyimpan tulang kerangka manusia terletak di atas rumah-rumah pemakaman. Untuk menuju perbukitan itu, pengunjung dapat melewati tangga-tangga. Namun, karena kondisi habis hujan dan ada tetesan air dari atas bukit, tangga yang dilewati ada yang basah. Kondisi ini menyebabkan pengunjung harus hati-hati agar tidak terpeleset atau terjatuh karena tangga batu itu licin.

Di sepanjang samping tangga batu terdapat peti-peti kayu penyimpan mayat manusia. Menurut teman yang menemani saya, mayat-mayat yang ada di dalam peti itu hanya tinggal tulang belulang saja. Meskipun saya lihat di atas bukit ada peti yang terlihat masih baru, namun menurut teman saya itu, mayat yang ada di dalam peti itu pun sama, yakni tinggal tulang belulang saja.








Naik ke atas lagi, pengunjung bisa melihat susunan tengkorak manusia di atas peti-peti kayu. Ada beberapa peti kayu yang dijadikan susunan bertingkat peletakan tengkorak manusia. Peti-peti kayu itu terletak di tebing-tebing bukit. Di antara bentuk peti kayu itu ada yang berbentuk kepala kerbau, berbentuk rumah, dan lain sebagainya. Di puncak bukit, pengunjung dapat melihat peti kayu yang masih diselimuti kain. Peti kayu ini berada di dalam gua. Di dalam gua ini, pengunjung juga bisa melihat tengkorak dan tulang belulang yang disusun di atas tanah.

Kebo Bule

Setelah melihat pemakaman Kete’ Kesu, saya beranjak ke luar area pemakaman. Di luar area pemakaman, saya berkunjung ke tempat Kebo/Kerbau Bule. Kebo/Kerbau Bule adalah kerbau yang memiliki warna putih. Ini berbeda dengan kerbau lainnya yang pada umumnya berwarna hitam. Karena kerbau ini memiliki warna yang berbeda dengan kerbau-kerbau lainnya, maka ia memiliki harga yang mahal.

Salah satu Kebo/Kerbau Bule yang saya jumpai berharga Rp600 juta. Kerbau ini jinak. Oleh karenanya, kerbau ini gampang diajak berfoto. Kerbau ini berusia lebih kurang 7 tahun. Sebenarnya, tempat ini memiliki 1 (satu) Kebo/Kerbau Bule lagi. Kerbau yang sudah berumur sekira 10 tahun ini diletakkan di belakang rumah. Menurut pemiliknya, kerbau itu seharga Rp300 juta. Saya pun menyempatkan diri berfoto dengan Kebo/Kerbau Bule seharga Rp600 juta. Sebagaimana pengunjung-pengunjung lainnya yang datang ke tempat itu.

Karena hari semakin siang, perut pun semakin lapar kami beranjak pergi. Sebagai muslim, saya dan teman-teman cukup kesulitan mencari rumah makan halal. Karena di Toraja rumah makan yang tersedia mayoritas teruntuk untuk non-muslim. Untunglah kami ditemani oleh orang Toraja yang juga muslim sehingga ia bisa mencari warung makanan halal. Warung itu kami temukan tidak jauh dari masjid dan KUA.

Sebelum meninggalkan Toraja dan kembali ke Palopo saya menyempatkan diri menikmati segelas kopi Toraja. Sebagai pemula dalam dunia penikmat kopi, saya merasakan kopi yang berbeda dari kopi-kopi lainnya. Kopi Toraja yang saya minum memili rasa pahit bercampur asam. Di karenakan rasanya enak dan nikmat maka saya membeli Kopi Arabica Sapan Toraja untuk dinikmati di rumah.[]

Posting Komentar

0 Komentar