Kisah Rasulullah dan Zaid

Zaid, “Bagiku, kau (Rasulullah) adalah ayah sekaligus paman”

Kali ini saya akan menuliskan sebuah kisah keagungan Rasulullah. Cerita ini saya kutip dari buku terjemahan karya Dr. Nizar Abazhah yang berjudul Bilik-Bilik Cinta Muhammad. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Serambi tahun 2017, dan kebetulan buku yang saya miliki merupakan cetakan ke-2 tahun 2018. Kisah yang saya kutip dari buku ini saya ambil dari halaman 164-168.

Sebelum saya menuliskan kisah yang ada di buku itu ke dalam blog ini, saya perlu menyampaikan bahwa buku ini merupakan salah satu buku favorit saya. Sudah 2 (dua) kali saya khatam (tamat) membaca buku ini. Dan kali ini saya hampir menamatkannya kembali untuk yang ketiga kali. Sebenarnya buku ini bukanlah buku pertama yang saya miliki. Buku ini merupakan buku kedua. Buku pertama dipinjam oleh kakak saya. Buku yang dipinjam kakak saya sengaja saya biarkan dengan harapan kakak saya juga membaca buku ini sehingga ia bisa mendapatkan berjuta hikmah yang ada di dalamnya.

Di dalam buku Bilik-Bilik Cinta Muhammad disampaikan kisah-kisah kehidupan Rasulullah dengan orang-orang yang ada di dekatnya. Nah, kali ini saya akan menulisan kembali kisah yang ada di dalam buku itu, yaitu kisah Zaid ibn Haritsah. Berikut kisahnya.

Zaid baru berumur delapan tahun ketika ia bersama ibunya menempuh perjalanan untuk mengunjungi kerabatnya di tempat yang jauh. Tetapi, malang melintang di tengah jalan. Ia dan kafilahnya dihadang sekelompok penyamun. Seluruh harta bawaan mereka dirampas. Bahkan, dirampasnya pula si bocah oleh para penyamun itu tanpa memedulikan isak tangis ibunya yang lunglai tak berdaya. Zaid dibawa ke Makkah lalu dijual di sana.

Tetapi, Tuhan nampaknya berkehendak lain. Dia ingin Zaid berada dalam kebaikan. Maka, dijadikan-Nya ia tumbuh besar di rumah agung Muhammad saw. Meski awalnya ia sering menangis karena teringat ibu bapaknya, namun akhirnya, berkat perlakuan lembut yang ditunjukkan Nabi kepadanya, hari demi hari kesedihannya makin terkikis. Bahkan, di rumah itu ia menemukan susana sejuk dan menenangkan.

Suatu hari, dua lelaki yang terlihat agung dan berwibawa muncul di Makkah. Mereka datang dari jantung pedalaman Gurun Sahara untuk mencari rumah Muhammad ibn Abdillah. Setelah ditunjukkan oleh setiap orang yang mereka tanya, mereka bergegas ke sana.

Legalah hati mereka begitu rumah yang mereka cari telah di depan mata. Jiwa mereka berbisik lama. Sementara, dari pelupuk mata mereka berderaian air mata. Air mata yang telah begitu lama menyimpan luka. Mereka berharap penghuni rumah agung ini akan mewujudkan impian mereka yang kini tumbuh kembali setelah sekian lama mati.

Setelah minta izin, keduanya masuk dengan sikap merendah dan hati penuh harap lalu berkata, “Wahai Putra ibn Abdil Muththalib, wahai Putra Hasyim, wahai Putra sang pemimpin, engkau adalah pelindung dan pemangku Baitullah. Kauberi makan kaum fakir dan kaubebaskan tawanan. Kami datang ke sini untuk anak kami yang ada padamu. Terimalah permintaan kami, berbuat baiklah kepada kami untuk menebusnya, semoga Allah pun berbuat baik kepadamu. Jangan bebani kami sesuatu yang kami tidak mampu menanggungnya.”

Muhammad ibn Abdillah memandang dengan tenang sambil menyelami batin mereka. “Siapa yang kau maksud?” tanya beliau.

“Zaid ibn Haritsah. Aku ayahnya, dan ini pamannya,” jawab seorang dari keduanya.

Lama Nabi terdiam. Berat rasanya beliau berpisah dengan Zaid. Tetapi, beliau juga tidak ingin mengecewakan ayahnya. Kedua tamu itu menatap lekat Muhammad. Mereka menunggu jawaban dengan hati harap-harap cemas. Tak lama kemudian Nabi menjawab, “Kenapa tidak dengan cara yang lain saja?”

Cara lain? Keduanya saling bertanya tak mengerti. Apa maksud di balik ucapan ‘cara lain’ itu? Bukankah hanya ada dua pilihan; ditebus dengan harga mahal atau diserahkan secara cuma-cuma? Lalu dengan terbata-bata mereka bertanya, “Apa itu?”

Kemudian Muhammad ibn Abdillah bersabda dengan jelas dan tegas, “Panggillah dia lalu ajukan pilihan. Jika ia memilihmu maka ia milikmu. Tetapi, jika ia memilihku, demi Allah, tak ada yang dapat memisahkanku dengan orang yang memilihku.”

Jawaban Nabi memupuskan ketegangan yang sejak tadi menggantung di wajah mereka. Mereka percaya, sebentar lagi Zaid akan kembali ke pangkuan mereka. Maka dengan tenang mereka berkata, “Kau benar-benar adil kepada kami dan sangat baik. Demi Allah, belum pernah kami lihat orang sebaik engkau sejak kami tiba di sini.”

Nabi menyambut kedua tamunya itu dengan penghormatan luar biasa. Mereka terus menunggu Zaid. Kerinduan berkecamuk di dada mereka. Betapa lama mereka melewati hari-hari berduri; hari-hari penuh siksa dan duka.

Dan kini, di hadapan mereka berdiri sesosok pemuda tinggi semampai. Tubuhnya padat dan kekar, perawakannya sedap dipandang. Ia terlihat sangat bahagia. Dan, betapa santunnya saat ia meminta izin masuk.

Begitu tahu mereka adalah ayah kandung dan pamannya, Zaid tak kuasa menahan diri. Bagai anak panah lepas dari busurnya ia melesat dan jatuh dalam pelukan mereka. Kebahagiaan meluap-luap di hatinya. Air matanya tumpah ruah. Isak tangisnya lepas tak tertahankan. Detik-detik itu begitu menyentuh dan mengharukan. Detik-detik penuh curahan cinta yang sudah begitu lama terpendam.

Setelah hati yang diguncang beragam perasaan tadi kembali tenang, Muhammad lalu menoleh kepada Zaid sambil bersabda, “Zaid, ayah dan pamanmu sudah datang. Mereka bermaksud membawamu pulang. Kau pun tahu siapa aku, dan bagaimana aku menganggapmu. Sekarang, pilihlah antara aku dan mereka!”

Betapa sulit bagi Zaid--yang berjiwa sensitif--untuk menentukan sikap. Semua membisu. Semua menatap Zaid dengan hati tak menentu. Semua menunggu sikap yang akan ditunjukkan pemuda tegap itu. Zaid masih terdiam. Keraguan tebersit di dada sang ayah dan sang paman. Namun, mereka menduga kuat Zaid tidak akan ragu memilih mereka.

Setelah lama menunggu, hati keduanya mulai gamang. Lebih-lebih ketika Zaid menoleh ke arah Muhammad. Lalu ia berkata dengan suara mantap, “Tak seorang pun kan kupilih selain engkau. Bagiku, kau adalah ayah sekaligus paman.”

Terkejut keduanya mendengar ucapan Zaid itu. Mereka sama sekali tidak percaya Zaid akan berkata seperti itu. “Celakalah kau, Zaid! Apakah kau lebih memilih menjadi budak daripada menjadi orang merdeka, daripada memilih ayahmu sendiri dan keluargamu.”

“Ya. Demi Allah, aku menemukan sesuatu yang lain pada pria ini. Aku tidak akan memilih siapa pun selain dia,” balas Zaid dengan nada lebih tegas.

Di tengah situasi tegang seperti itu, mendadak Muhammad mengajak mereka semua keluar. Tiba di Hijir Ismail di sisi Ka’bah, tempat yang dimuliakan segenap bangsa Arab, Muhammad lalu bersabda dengan suara lantang, “Wahai segenap yang hadir di sini, kupersaksikan pada kalian bahwa Zaid adalah anakku, dan ia adalah ahli warisku.”

Makin tak terbendung rasa kagum kedua pria itu terhadap pribadi Muhammad. Dalam hati mereka berbisik, “Belum pernah kami saksikan keajaiban seperti yang kami saksikan hari ini. Apakah kami tidak sedang bermimpi?”

Akhirnya, tahulah mereka bahwa ternyata putra mereka mempunyai kedudukan mulia. Dan hari ini, kemuliaan itu telah turun ke pangkuannya, disaksikan sendiri oleh mereka. Maka legalah hati mereka, dan pulang ke negerinya dengan hati sejuk bahagia.

Kisah di atas dipenuhi dengan tanda-tanda jelas dan nyata bagaimana keagungan Rasulullah. Seorang Zaid lebih memilih Rasulullah dibandingkan ayah kandung dan pamannya sendiri. Sebagai seorang anak yang terpisah dari orang tuanya disebabkan peristiwa yang menyedihkan (dirampok) mestinya dia sangat merindukan orang tuanya. Lain halnya seandainya perpisahan itu terjadi karena diinginkan sendiri oleh Zaid, misalnya dia diusir atau lain sebagainya, maka sudah bisa ditebak bahwa dia tidak akan mau kembali kepada orang tuanya. Namun kejadian perpisahan itu karena ia dirampok dan dijual sebagai budak. Jika Zaid berada dalam keluarga manusia biasa, bukan Rasulullah, sudah bisa dipastikan bahwa dia akan memilih orang tuanya. Namun dikarena dia berada dalam lingkungan manusia agung maka dia tidak bisa memilih selain tetap berada dalam lingkungan keluarga manusia agung itu.

Di samping itu, dari kisah di atas kita bisa mengetahui bahwa orang tua Zaid termasuk orang tua yang menyayangi anaknya. Hal itu dibuktikan dengan kerja keras mereka yang tanpa lelah mencari anaknya yang hilang diculik saat perampokan. Mereka rela melakukan perjalanan jauh dan bertanya dari satu tempat ke tempat lainnya demi menemukan dan membawa kembali anaknya. Tindakan yang seperti itu tidak akan dilakukan oleh orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Namun ternyata, kasih sayang orang tua itu belum bisa mengalahkan kasih sayang Rasulullah kepada Zaid.

Kemuliaan Rasulullah juga dapat dilihat dari tindakan Rasul yang memberikan kesempatan kepada Zaid untuk memilih Rasul atau orang tuanya. Padahal, Rasul bisa saja memilih untuk tidak memberikan kesempatan Zaid untuk memilih karena Rasul adalah tuannya Zaid. Hal itu dibuktikan dengan perkataan orang tua Zaid yang menyatakan bahwa hanya ada 2 (dua) pilihan saja yaitu menebus Zaid dengan harga yang tinggi atau membebaskannya secara cuma-cuma. Perkataan ayah kandung dan paman Zaid itu karena mereka belum tahu dengan siapa mereka berhadapan. Mereka tidak tahu bagaimana keagungan akhlak Rasulullah. Orang yang tahu justru Zaid sendiri karena dia tinggal di rumah Rasulullah.

Dikarenakan Zaid tahu bagaimana sikap Rasulullah, meskipun Zaid diberikan kebebasan untuk memilih namun dengan penuh keyakinan ia memilih Nabi. Hal itu tidak lain karena dia tidak pernah merasakan diperlakukan sebagai budak di rumah Rasulullah. Sikap Muhammad ibn Abdillah melebihi sikap seorang ayah kandung kepada anaknya. Sikap Rasulullah kepada Zaid adalah sikap seorang manusia paling mulia sehingga siapa pun pasti akan memilih Nabi Muhammad jika diberikan kesempatan untuk memilihnya.

Kisah di atas juga menunjukkan bagaimana keraguan ayah kandung dan paman Zaid hilang dan mereka pulang dengan hati lega dan tanpa kekecewaan. Kekecewaan orang tua Zaid hilang karena Rasulullah mengumumkan bahwa Zaid dibebaskan dari status budaknya dan diadopsi menjadi anak Rasulullah. Zaid saat itu berubah dari Zaid ibn Haritsah menjadi Zaid ibn Muhammad. Meskipun di kemudian hari status anak itu diubah oleh Allah.

Demikianlah sekelumit hikmah dari kisah Zaid bersama dengan Rasulullah, ayah kandung dan pamannya.[]

Posting Komentar

0 Komentar