Ikhlas Kunci Kebahagiaan

"Tahun 2020 beberapa jam lagi akan berakhir. Banyak hal yang terjadi di tahun ini. Mulai dari hal-hal yang menyenangkan sampai peristiwa yang menyedihkan. Kebahagiaan berjalin berkelindan dengan kemurungan. Kesenangan datang dan pergi layaknya siang berganti malam. Seperti itulah kehidupan!"

Berbagai masalah muncul menghantui kita. Salah satu masalah besar yang terjadi di tahun 2020 ini dan belum tahu kapan berakhir adalah pandemi Covid-19. Tidak jarang masalah-masalah yang muncul mengakibatkan kita menjadi “hilang akal” sehingga melakukan tindakan yang di luar akal dan ketentuan Islam. Padahal masalah merupakan salah satu bagian dalam kehidupan ini yang tidak dapat dihindari. Karena pada hakikatnya masalah muncul manakala keinginan tidak sesuai dengan kenyataan.

Untuk meraih kehidupan yang bebas masalah demi mencapai kebahagian nampaknya merupakan hal yang mustahil. Karena bagaimana pun juga masalah akan selalu ada selama manusia itu ada. Keinginan manusia tentu hal-hal yang baik menurutnya. Sementara itu, dalam kehidupan manusia tidak hidup sendiri. Dengan demikian, keinginan manusia sudah pasti akan “berbenturan” dengan keinginan-keinginan manusia lainnya, baik itu keluarga atau masyarakat. Jika demikian, bagaimana caranya mencapai kebahagiaan hidup di dunia ini? Jawaban dari pertanyaan dapat ditemukan hanya dalam satu kata, yaitu ikhlas.

Pengertian Ikhlas

Ikhlas memiliki banyak makna tergantung bagaimana orang mendefinisikannya. Namun demikian, untuk mempermudahnya ikhlas bermakna tulus hati. Islam memberikan definisi ikhlas adalah mengerjakan amal ibadah dengan niat hanya kepada Allah untuk memperoleh ridha-Nya. Dalam Surah Al-An’am ayat 162 Allah SWT berfirman, Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Ayat ini mengajari kita bahwa segala hal dalam kehidupan ini tidak ada yang luput dari Allah. Oleh sebab itu, kita tidak akan mendapatkan kebahagiaan jika lari dari Allah. Kesuksesan kita ditentukan dengan sedekat apa kita kepada Allah. Semakin kita dekat, maka dijamin kita akan semakin bahagia. Sebaliknya, semakin kita menjauh dari Allah maka hidup ini akan dipenuhi oleh masalah. Jadi sebenarnya, dalam hidup ini kita harus cerdas dalam hal penempatan diri saja.

Kecerdasan dalam menempatkan diri itulah yang dinamakan ikhlas. Hal serupa juga terjadi dalam hal ibadah. Semua bentuk amal ibadah, baik itu ibadah sosial maupun ibadah personal tidak akan ada artinya di hadapan Allah bila tidak dibarengi dengan keikhlasan. Artinya meskipun amal ibadah itu kecil di mata manusia tetapi dibarengi dengan keikhlasan maka sangat besar nilainya di mata Allah.

Hakikat ikhlas nampak dari firman Allah kepada Rasulullah SAW. Al-Qur’an Surah Az-Zumar ayat 2 menegaskan, “Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.” Ayat ini secara jelas menyebutkan kata “ikhlas’ dalam ketaatan kepada Allah.

Sementara itu, Rasulullah SAW juga menjelaskan bagaimana hakikat ikhlas. Rasulullah SAW bersabda, “Bahwa segala amal perbuatan tergantung pada niat, dan bahwa bagi tiap-tiap orang adalah apa yang ia niatkan. Maka siapa saja yang hijrah dengan niat menuju ridha Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Siapa saja yang hijrah karena dunia (harta atau kemegahan dunia), atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu akan ke arah yang ditujunya". (HR. Bukhari)

Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda, “Bahwa yang pertama kali kelak di hari kiamat akan dihakimi adalah: pertama, seorang yang mati di jalan perang. Ketika ditanya ia menjawab bahwa ia berperang sampai mati syahid. Dikatakan kepadanya: ‘Kamu bohong. Kamu berperang dengan niat supaya kamu dikatakan pemberani. Dan orang-orang sudah menyebut itu’. Kemudian diperintahkan supaya ia dimasukkan ke dalam api neraka. Kedua, orang yang mencari ilmu agama dan mengajarkannya, ia mengajarkan Al-Qur’an. Ketika ditanya, ia menjawab bahwa saya mecari ilmu dan mengajarkannya, saya juga mengajarkan Al-Qur’an. Lalu dikatakan kepadanya: ‘Kamu bohong. Kamu belajar mencari ilmu dengan niat supaya kamu dikatakan alim, dan orang-orang sudah mengatakan itu’. Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dimasukkan ke dalam neraka. Ketiga, seorang yang dikaruniai limpahan harta kekayaan. Ketika ditanya, kemana harta itu dipergunakan, ia menjawab bahwa ia telah menginfakkannya ke jalan-jalan kebaikan. Lalu dikatakan kepadanya: ‘Kamu bohong, kamu lakukan itu dengan niat supaya dikatakan kamu dermawan dan orang-orang sudah mengatakan itu’. Lalu diperintahkan supaya orang tersebut diseret ke dalam api neraka. (HR. Muslim)

Sungguh Hadits di atas menyadarkan kita untuk selalu berhati-hati dalam berniat. Sebagus apa pun amal ibadah kita tidak akan ada nilainya di hadapan Allah jika niat kita bukan ikhlas karena Allah.

Pengertian Kebahagiaan

Makna kebahagiaan sangat bergantung kepada masing-masing orang yang mengalaminya. Ada yang berpendapat, orang yang memiliki banyak waktu bersama keluargalah yang berbahagia. Maksudnya orang yang bekerja, pergi pagi dan pulang malam sehingga tidak punya banyak waktu buat keluarga adalah orang yang tidak berbahagia. Sementara itu, pendapat lain mengatakan, orang kaya pasti bahagia, sedangkan yang miskin pasti tidak mungkin bahagia.

Dalam hal ini, Allah SWT berfirman di dalam Surah Al-Nahl ayat 97, “Siapa saja yang beramal saleh, laki-laki ataupun perempuan, dan itu dilakukan atas dasar keimanan kepada Allah SWT, maka Kami [Allah] akan menjamin mereka dengan kehidupan yang thayyibah (baik, layak, yang membahagiakan).”

Ayat di atas menunjukkan bahwa pentingnya keikhlasan sebagai ruh perbuatan kita. Ikhlas merupakan kunci menuju kebahagaiaan kita. Sungguh kita tidak mau apa yang sudah kita lakukan menjadi sia-sia. Sia-sia di sini bisa bermakna bernilai di mata manusia tapi tidak bernilai di hadapan Allah. Atau juga bisa bermakna tidak bernilai di mata manusia juga tidak bernilai di muka Allah. Untuk menghindari hal itu terjadi dan untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat maka hati-hatilah dalam berniat. Pastikan niat kita dalam  melakukan sesuatu hal hanya didasari ikhlas kepada Allah.

Pemahaman yang keliru mengenai kebahagiaan

Berdasarkan firman Allah SWT dalam surah An-Nahl di atas terlihat bahwa Allah menjamin orang-orang yang beriman kepada-Nya pasti akan memperoleh kebahagiaan hidup. Namun pada kenyataannya banyak kaum muslim dalam kehidupan mereka tidak merasa bahagia. Hal ini bisa terlihat dari kehidupan mereka yang tidak layak, banyak yang stres dan bunuh diri, dan sebagainya. Jadi seakan-akan apa yang dikatakan atau apa yang dijanjikan oleh Allah SWT dalam ayat tersebut di atas dengan realitas yang terjadi di tengah masyarakat bertolak belakang. Apakah benar demikian?

Sebenarnya tidak demikian adanya. Tidak mungkin Allah mengingkari janjinya dan Al-Qur’an tidak sesuai fakta. Yang terjadi sebenarnya adalah adanya kekeliruan pemahaman kebahagiaan di kalangan umat muslim. Kekeliruan itu terletak pada pemahaman bahwa kebahagiaan sangat tergantung pada materi (harta kekayaan). Dengan pemahaman seperti ini, maka orang beranggapan yang memiliki banyak materi pasti bahagia.

Padahal, tidak demikian halnya. Banyak orang kaya tidak bahagia, malah sebaliknya, stres dan bahkan frustasi dalam menjalani kehidupannya. Rasulullah SAW mengingatkan kita bahwa ukuran kekayaan atau kebahagiaan itu letaknya bukanlah pada materi. Sesungguhnya sumber kekayaan atau kebahagiaan ada pada keikhlasan.

Hutai’ah, seorang penyair, menggubah sebuah syair yang berbunyi: “Tidaklah saya melihat kebahagiaan itu pada penumpukan harta benda yang banyak, sesungguhnya ketakwaan itulah sumber kebahagiaan. Dan takwa kepada Allah merupakan sebaik-baik bekal yang mesti kita simpan, bukan kekayaan yang banyak. Dan hanya di sisi Allah orang-orang yang bertakwa bisa merasakan sebuah kebahagiaan.”




Orang yang ikhlas selalu melihat persoalan hidup sebagai sebuah pembelajaran. Perjalanan hidup tidak akan selalu sesuai dengan apa yang kita harapkan. Seandainya jatuh, maka kejatuhan itu harus kita anggap sebagai sebuah pembelajaran. Pengalaman mengatakan bahwa berapa banyak orang yang setelah jatuh malah sukses dan bahagia dalam hidup. Yang paling penting adalah bagaimana kita menyikapi persoalan-persoalan dalam hidup, karena persoalan itu sendiri pasti ada, tidak mungkin bisa ditolak. Hidup adalah sebuah pembelajaran. Orang yang selalu bisa menjadikan permasalahan hidup sebagai sebuah pembelajaran tidak akan pernah bersedih, malah ia akan selalu bahagia.

Orang yang ikhlas akan menjadi orang yang pandai bersyukur dengan segala nikmat dan ketentuan Allah SWT. Baik nikmat itu kecil, apalagi yang banyak. Sebanyak apapun harta yang dimiliki tapi tidak disertai dengan rasa syukur kepada Allah maka hidup seseorang akan menderita alias tidak bahagia. Orang yang bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan selalu bersemangat dalam hidup dan selalu bersuka cita. Karena ia menyadari bahwa apa pun yang menimpa dirinya adalah atas kehendak dan kuasa Allah SWT. Sebaliknya, orang yang tidak bersyukur adalah orang yang selalu tamak kepada dunia. Dia tidak pernah puas, sehingga selalu merasa kurang. Pada akhirnya ia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan memenuhi kekurangan tersebut. Misalnya, korupsi, menipu, merampas, dan sebagainya. Dengan demikian, hidupnya terus-menerus menderita.

Hakikat kebahagian adalah apa yang Rasulullah katakan: "Seandainya sesorang di antara kalian melakukan suatu kebaikan di tengah padang sahara yang sangat sepi, dalam ruangan tertutup tanpa pintu, amal itu suatu saat pasti akan ketahuan juga.”[] Wallahu a’lam

Posting Komentar

0 Komentar