Ilmu Psikologi Islam menyebutkan bahwa fitrah atau esensi dasar manusia
adalah suci. Oleh sebab itu, ia selalu mengajak kepada kesucian dan
kesempurnaan. Namun, dikarenakan beberapa faktor, seperti misalnya faktor
pendidikan dan lingkungan, akhirnya ia terjerumus kepada penyimpangan.
Penyimpangan yang terjadi di antaranya adalah melakukan tindak kekerasan yang
tidak dibenarkan secara hukum, baik hukum Islam maupun hukum pemerintahan.
Tindakan kekerasan sendiri sebenarnya ada yang dibenarkan oleh Islam.
Misalnya dalam menjalankan peraturan perundangan-undangan maka dibenarkan
melakukan tindakan kekerasan. Di samping itu, dalam menegakkan hukum juga
dibenarkan melakukan kekerasan bagi si penegak hukum. Jadi, selama mengikuti
aturan dan ada aturannya maka suatu tindakan kekarasan dapat dibenarkan.
Namun demikian, dalam Islam tindakan kekerasan merupakan pilihan terakhir.
Artinya jika semua jalan telah ditempuh namun tidak ditemukan solusi maka
dibenarkan melakukan kekerasan. Di samping itu, tindakan kekerasan juga dapat
dibenarkan apabila keselamatan umat Islam terancam. Jadi, dalam hal ini umat
Islam baru boleh melakukan kekerasan apabila diancam atau diserang oleh musuh.
Jika hal itu tidak ada, maka tidak boleh melakukan kekerasan. Intelektual Iran
bernama Muthahhari menyatakan dalam karyanya yang
berjudul “Jihad”: “Penyerangan karena menuruti jiwa ekspansionis
merupakan keburukan. Namun sebaliknya, peperangan yang disebabkan karena
membela diri dari serangan musuh merupakan suatu hal yang baik dan merupakan
sesuatu yang aksiomatis (dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian)
dalam kehidupan manusia”. Allah SWT. berfirman“Siapa saja yang
menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 194)
Dalam hubungan antar umat beragama, Islam secara tegas memerintahkan untuk
mengutamakan dialog jika ditemukan perbedaan atau perselisihan. Allah SWT
berfirman “Janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara
yang paling baik”. (QS. Al-Ankabut: 46)
Hal itu sesuai dengan semangat Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat
bagi semesta alam). Namun demikian, konsep rahmatan
lil alamin agama
Islam sama sekali tidak bertentangan dengan beberapa tindak kekerasan yang
memang itu dapat dibenarkan. Hal itu dikarenakan secara esensial kekerasan
tidak dapat divonis sebagai sesuatu yang baik ataupun buruk. Tindak kekerasan
tidak dapat digeneralisasikan dalam pemvonisannya.
Dengan demikian, tindakan kekerasan tergantung pada
hal-hal seperti, kekerasan dengan arti yang bagaimana, dari pihak mana, untuk
siapa, dengan tujuan apa, dengan kapasitas berapa, dengan cara apa, cakupan
radius waktu dan tempatnya seberapa? Jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan
itu akan mempunyai dampak hukum dan konsekuensi yang berbeda-beda. Tanpa
melihat delapan tolok ukur penilaian tadi niscaya tindak kekerasan tidak akan
pernah dapat teranalisa dengan baik dan benar, bahkan tidak akan pernah
terealisasi. Tentu akal dan ilmu pengetahuan modern pun dapat menghukumi bahwa
kekerasan seorang ibu terhadap anaknya (mencubit, misalnya) dengan tetap
memperhatikan batas-batas yang wajar guna mendidik anaknya tersebut akan dapat
dihukumi baik.
Fakta Sejarah
Pada saat Rasul mendakwahkan Islam di Mekkah tidak pernah tercatat dalam sejarah terdapat orang yang dibunuh Muhammad SAW disebabkan tidak mau mengakui kenabiannya. Setelah berada di Madinah pun dan menjadi pemimpin agama sekaligus negarawan, Muhammad SAW selalu mengutamakan dialog dan perdamaian. Rasul memelopori deklarasi perdamaian dengan mendeklarasikan Piagam Madinah. Dengan Piagam tersebut, tiga pemeluk agama yang ada di Madinah, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam terjamin hak-hak hidupnya. Tidak hanya itu, mereka diberikan kebebasan dan keleluasaan dalam beribadah.
Pada saat penaklukan
Mekkah (futuh al-Makkah) kekuatan besar muslim tidak menyebabkan mereka
melakukan kekerasan. Meskipun kaum Quraisy saat itu sudah tidak memiliki kekuatan. Bahkan pada saat memasuki kota Mekkah,
Muhammad SAW mendeklarasikan sebuah pernyataan yang berbunyi “Siapa saja yang memasuki rumah Abu Sufyan,
ia akan aman, siapa saja yang menutup pintu rumahnya ia akan aman, dan siapa saja
yang memasuki Masjidil Haram ia akan aman”. Nama Abu Sufyan disebutkan Rasul karena ia adalah pemimpin kaum Quraisy sehingga untuk menjaga martabat dan kemuliaannya di mata kaum Quraisy maka Rasul menyampaikan pernyataan itu. Sebuah pernyataan yang sangat bagus sehingga mendorong banyak kaum Quraisy yang pada akhirnya masuk Islam, termasuk Abu Sufyan.
Fakta sejarah lain yang menunjukkan Islam mengedepankan perdamaian dibandingkan kekerasan adalah peristiwa penaklukan Jerussalem oleh Salahuddin Ayyubi. Penaklukan Yerussalem sebenarnya dipicu oleh pelanggaran Kerajaan Yerussalem atas perjanjian damai. Artinya bukan pihak Salahuddin yang memicunya. Bahkan, adik kandung Salahuddin diculik dan dinistakan. Guy de Lusignan, Raja Yerussalem ketika itu, melontarkan kalimat provokasi yang berbunyi “Give me a war”. Akhirnya perang pun tak terhindarkan. Dengan strategi yang jitu Salahuddin dan pasukannya menang.
Salahuddin dan
pasukannya memasuki kota Yerussalem dengan kedamaian. Ini berbeda pada saat
pertama kali dulu pasukan Kristen berhasil menaklukkan Yerussalem di mana
pertumpahan darah terjadi di mana-mana sehingga konon menurut saksi mata darah
yang tergenang sampai menyentuh lutut kuda para ksatria Kristen (Ksatria
Templar). Pada saat Islam berkuasa, orang Kristen dan Yahudi yang ketika itu
tinggal di Yerussalem bebas memilih. Mereka diberikan 2 (dua) pilihan yaitu tinggal
di Yerussalem tapi membayar jizyah, atau kembali ke tanah kelahiran
mereka dengan membawa harta benda dan damai.
Beberapa peristiwa
monumental dalam sejarah Islam tersebut menjadi fakta sejarah bagaimana Islam
tidak mengutamakan kekerasan. Sebagai umat Islam yang belajar dari sejarah dan
memahami Al-Qur’an dan Hadis Nabi, kita seharusnya menjauhi kekerasan.[]
0 Komentar