Pertama ke Kota Banda Aceh

Ini pertama kali saya ke Tanah Rencong, khususnya kota Banda Aceh. Provinsi paling barat Indonesia ini terkenal dengan masyarakatnya yang religius. Masyarakat religius ini secara tidak langsung berdampak kepada provinsi ini dengan mendapatkan status istimewa dan menjalankan otonomi khusus. Masyarakat Aceh diperkenankan oleh undang-undang negara Indonesia untuk melaksanakan syariat Islam. Oleh sebab itu, baru pertama kali saya melihat pramugari mengenakan penutup kepala (kerudung) saat pesawat terbang mulai memasuki wilayah udara Aceh.

Sikap religius masyarakat Aceh tidak terlepas dari sejarah panjang daerah ini. Sebagaimana diketahui, Aceh dianggap sebagai daerah awal penyebaran agama Islam di bumi Nusantara. Melalui Aceh, Islam menyebar luas ke berbagai pulau di Nusantara hingga agama ini menjadi agama mayoritas sampai hari ini.

Saat saya ke Banda Aceh kebetulan bertepatan dengan bulan Ramadhan 1443 H. Secara langsung saya menyaksikan antusiasme masyarakat dalam beribadah, terutama shalat berjamaah di masjid. Ketika saya menyempatkan shalat Zuhur di sebuah masjid saya mendapati masjid tersebut dipenuhi dengan jamaah. Masjid besar diisi oleh banyak jamaah. Saya mengira itu terjadi hanya pada hari tertentu saja. Namun saat keesokan harinya saya datang kembali ke masjid tersebut, saya tetap mendapati banyak jamaah yang mengikuti shalat Zuhur berjamaah. Begitu seterusnya selama beberapa hari saya shalat berjamaah di masjid tersebut.

Pada malam hari bulan Ramadhan saya shalat tarawih di salah satu masjid di kota Banda Aceh. Masjid yang cat luarnya berwarna putih itu dan di dalamnya masih dalam proses pembangunan, penuh sesak jamaah. Jamaah tidak hanya di lantai 1 (satu) tapi juga memenuhi lantai 2 (dua). 

Saya juga melihat anak-anak banyak shalat di masjid ini. Kondisi anak-anak yang menurut saya istimewa adalah mereka tidak “ribut atau berisik” saat pelaksanaan shalat tarawih. Itu berbeda dengan anak-anak di beberapa tempat lain yang pernah saya jumpai. Biasanya anak-anak akan “sibuk” dengan dunianya, tanpa menghiraukan orang lain sehingga terkadang mengakibatkan ada masjid yang menerapkan kebijakan kurang tepat, yaitu melarang anak-anak usia tertentu untuk datang ke masjid dengan alasan mengganggu kekhusyukan ibadah.

Antusiasme masyarakat menunaikan shalat tarawih menimbulkan pertanyaan di benak saya, yaitu apakah antusiasme jamaah dikarenakan awal Ramadhan? Sebagaimana jamak diketahui, awal Ramadhan selalu disambut dengan penuh antusias dan semangat oleh umat Islam di manapun berada. Itu dibuktikan dengan masjid-masjid yang penuh sesak dengan jamaah. Shaf-shaf shalat penuh. Namun, sayangnya semakin lama puasa berjalan, shaf-shaf yang tadinya penuh sampai ke belakang menjadi semakin maju ke depan. Pertanyaan saya itu kemudian saya tanyakan ke warga kota Banda Aceh yang bersama saya. Dia pun menjawab antusiasme itu memang terus berlanjut seperti itu. Saya memang tidak dapat membuktikannya lebih jauh karena saya hanya beberapa hari saja berada di kota Banda Aceh.

Saat shalat tarawih mencapai jumlah 8 (delapan) rakaat, lumayan banyak jamaah yang keluar masjid. Mereka shalat tarawih sebanyak 8 (delapan) rakaat sebagaimana dibolehkan oleh hukum Islam (Fiqh). Sementara, jamaah yang melaksanakan shalat tarawih sebanyak 20 (dua puluh) rakaat melanjutkan shalat hingga larut malam.

Selesai shalat tarawih, saya meluncur ke warung kopi di seberang masjid. Luar biasanya warung kopi itu penuh oleh pengunjung. Tidak hanya laki-laki, anak-anak dan perempuan juga ada di warung kopi ini. Tidak jarang satu keluarga lengkap datang ke warung kopi itu setelah selesai shalat tarawih.

Saat di hotel saya mengalami kejadian yang belum pernah saya alami di kota-kota lainnya. Kejadian itu saya alami saat sahur. Pada saat sahur di hotel, saya mendengarkan suara azan dari masjid. Azan itu dikumandangkan pada saat belum masuk imsak. Saya pun heran kenapa ada azan di waktu yang kurang tepat menurut saya. Saya menduga-duga bahwa orang yang mengumandangkan azan tidak melihat jam. Namun selang beberapa waktu kemudian, saya kembali mendengar suara azan. Saya cukup bingung karena ini belum pernah saya alami. Untuk menuntaskan kebingungan saya, keesokan harinya saya bertanya ke warga kota Banda Aceh. Ternyata azan itu bukan dikumandangkan oleh orang yang tidak melihat jam sebagaimana dugaan saya. Menurut warga Aceh azan memang ada masjid yang mengumandangkan azan sebanyak 2 (dua) kali.



Pelaksanaan syariat Islam di Aceh sebelumnya hanya saya ketahui dari media cetak maupun online. Salah satu yang pernah saya baca adalah setiap hari Jumat semua aktivitas perdagangan tidak diizinkan. Semua toko-toko harus ditutup. Apa yang saya pernah baca, saya saksikan secara langsung. Saat saya ke Bandar Udara Iskandar Muda untuk kembali ke Jakarta, sepanjang perjalanan ke arah bandar udara saya melihat semua toko-toko ditutup. Tidak ada yang buka.

Saya menemukan persamaan kota Banda Aceh dengan kota Putussibau di Kalimantan Barat. Persamaan itu ada pada pembacaan shalawat setelah selesai shalat fardu 5 (lima) waktu. Di tempat lain, saya tidak menemukan hal itu. Biasanya setelah selesai doa, jamaah langsung beranjak pulang. Namun, di kota Banda Aceh dan Putussibau setelah selesai membaca doa jamaah melanjutkan dengan membaca shalawat Nabi 3 (tiga) kali. Setelah itu, barulah jamaah beranjak pulang.[]

Posting Komentar

0 Komentar