Setelah Pemilu Serentak (170419)


Bangsa Indonesia telah melaksanakan hajatan besar, yaitu Pemilu. Hajatan ini telah menjadi catatan sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Sejak Indonesia merdeka pada 1945 sudah berulang kali melaksanakan pemilu. Tercatat sudah sebanyak 12 kali rakyat Indonesia melakukan pemilihan langsung, yaitu 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019.
Pemilih sedang menerima surat suara dari KPPS
Pemilu yang sudah dilaksanakan berkali-kali itu tentunya memiliki cerita dan catatan-catatan tersendiri. Cerita dan catatan-catatan itu akan menjadi sejarah yang tentunya bermanfaat bagi perjalanan panjang bangsa Indonesia. Manfaat itu akan didapatkan selama bangsa Indonesia mau belajar dari sejarah, bukan hanya menjadikannya sebagai romantisme sejarah.
Tentunya Pemilu 2019 memiliki banyak cerita dan catatan. Di era kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat berbagai cerita dan catatan mudah didokumentasikan oleh semua pihak dan semua orang. Hal ini sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang dokumentasinya tidak sebaik saat ini.

Pemilu 2019 memiliki cerita baik dan kurang baik. Cerita baik adalah berhasilnya pemilu ini dilaksanakan tanpa ada gejolak di tengah-tengah masyarakat. Kalau pun ada gejolak itu hanya riak-riak kecil yang tidak menimbulkan akibat besar bagi masyarakat. Segenap penyelenggara pemilu berhasil melaksanakan pemilu dengan lancar. Sinergi KPU (Komisi Pemilihan Umum), Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), Kepolisian, dan TNI menciptakan Pemilu 2019 yang aman dan lancar.

Namun demikian, di samping cerita baik tentunya akan ada cerita kurang baik. Rasanya tidak akan ada cerita yang 100% baik. Segala sesuatu tentunya tidak akan bernilai sempurna. Pasti ada kekurangan di sana-sini. Hanya saja memang semakin sedikit kekurangan itu akan semakin baik. Namun, kekurangan itu tentunya tidak akan mengurangi nilai baik dari pelaksanaan pemilu yang sudah dilaksanakan.

Salah satu cerita kurang baik adalah banyaknya petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang meninggal dunia. Sampai dengan 30 April 2019 pukul 15.00 WIB sudah 331 orang petugas yang meninggal dunia dan 2.232 orang sakit sehingga total petugas yang meninggal dan sakit berjumlah 2.563 (https://news.detik.com/berita/d-4531235/bertambah-lagi-petugas-kpps-yang-meninggal-dunia-jadi-331-orang). Jumlah ini tentunya sangat banyak. Mudah-mudahan tidak ada lagi petugas yang meninggal dunia.

Proses panjang penghitungan suara pemilu mengakibatkan petugas kelelahan sehingga akibat terburuknya bisa menyebabkan kematian. Petugas pemilu harus menghitung banyak surat suara. Memang Pemilu 2019 berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 2019, pemilu legislatif dan presiden disatukan.
Masyarakat duduk mengantri giliran melakukan pencoblosan.
Di Ibukota DKI Jakarta, petugas KPPS harus menghitung surat suara pemilihan presiden, DPRD Provinsi, DPR, dan DPD. Adapun di provinsi selain Jakarta, petugas KPPS malah memiliki tugas yang lebih berat. Selain menghitung surat suara pemilihan presiden, DPRD Provinsi, DPR, dan DPD, petugas juga harus menghitung surat suara DPRD Kabupaten/Kota. Tidak hanya itu, mereka juga harus merekap hasil penghitungan surat suara. Maka tidak mengherankan kalau banyak TPS yang baru rampung menghitung surat suara pukul 02.00 dini hari.

Selain itu, Pemilu 2019 juga memiliki cerita lainnya yang harus menjadi perhatian pembuat undang-undang. Pada Pemilu 2019 peserta pemilu sangat banyak yaitu partai politik sebanyak 16 dan 807 calon anggota DPD. Akibatnya kertas suara juga sangat tebal dan lebar. Padahal, bilik suara sempit sehingga saat membuka suara pemilih cukup kesulitan. Belum lagi masalah bantalan untuk mencoblos yang juga kecil. Hal-hal teknis seperti ini harus menjadi perhatian pemegang kebijakan agar ke depan penyelenggaraan pemilu menjadi semakin baik.

Banyaknya partai politik dan calon anggota DPD juga harus diperhatikan. Apakah dengan jumlah segitu masih layak dipertahankan pada pemilu berikutnya? Apakah tidak bisa dikurangi sehingga akan membuat pemilu yang efektif dan efisien. Tentunya, semua hal yang akan dilakukan oleh pembuat kebijakan harus mempertimbangkan kepentingan bangsa Indonesia, bukan kepentingan kelompok atau golongan.[]

Posting Komentar

0 Komentar