Rebutan Jalan ke Pantai Lariti


"Saya termasuk orang yang beruntung karena saat saya sampai ke Pantai Lariti kondisi air laut sedang surut sehingga jalan terhampar luas ke pulau. Jika air laut sedang pasang, maka kita tidak bisa ke pulau. Kita hanya bisa memandanginya. Oleh sebab itu, wisatawan harus rebutan jalan dengan air laut"

Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki 2 (dua) pulau besar, yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Pulau Sumbawa merupakan pulau terbesar di NTB. Secara administratif, Pulau Sumbawa terbagi ke dalam 4 (empat) kabupaten dan 1 (satu) kota, yaitu Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat, dan Kota Bima.

NTB dikenal sebagai salah satu provinsi yang memiliki banyak tujuan wisata. Provinsi ini mempunyai banyak tempat-tempat indah yang dapat memanjakan para wisatawan sehingga menjadi tempat favorit wisatawan setelah Bali. Salah satu tempat indah yang menjadi tujuan wisata andalan di NTB adalah Pantai Lariti.

Pantai Lariti terletak di Pulau Sumbawa. Tepatnya di Kabupaten Bima. Untuk menuju ke pantai ini kita melewati pegunungan dan area pertanian. Namun, sebelum menempuh perjalanan darat ke Pantai Lariti, kita harus menyeberang dulu ke Pulau Sumbawa, yaitu ke Bima. Ada 2 (dua) cara untuk sampai ke Pulau Sumbawa, pertama naik kapal, kedua naik pesawat.


Jika naik pesawat, wisatawan bisa berangkat dari Bandara Internasional Lombok di Praya, Kabupaten Lombok Tengah ke Bandar Udara Sultan M. Salahuddin di Bima. Saat ini, ada 2 (dua) maskapai yang dapat dipilih oleh wisatawan, yaitu Wings dan NAM. Pada bulan Juli, saat saya ke tempat ini masih ada maskapai Garuda. Namun, sekarang agaknya maskapai Garuda sudah tidak melayani penerbangan ke Bima. Hal itu dikarenakan saat saya lihat di salah satu agen penjulan tiket online sudah tidak tercantum maskapai Garuda. Hal yang sama juga disampaikan oleh teman saya yang terbang ke Bima pada bulan September sudah tidak ada lagi penerbangan Garuda.

Penerbangan ke Bima ditempuh selama lebih kurang 40-60 menit. Selama penerbangan, kita bisa melihat hamparan daratan Pulau Sumbawa. Dikarenakan saya ke Bima saat musim kemarau, maka mayoritas daratan di Pulau Sumbawa berwarna kekuningan atau tandus. Selain itu, pesawat yang saya tumpangi terbang lebih rendah daripada Gunung Tambora sehingga bisa melihat “kemegahan” Gunung Tambora. Salah satu gunung yang memberikan efek letusan dahsyat dalam sejarah umat manusia di bumi.


Adapun naik kapal bisa menggunakan kapal feri di Pelabuhan Kayangan, Kabupaten Lombok Timur menuju Pelabuhan Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat. Perjalanan naik kapal feri biasanya ditempuh selama 2 hingga 3 jam. Dikarenakan saya belum pernah naik kapal feri ke Pulau Sumbawa maka tidak banyak informasi yang dapat saya berikan.

Perjalanan ke Pantai Lariti
Setelah sampai di Bima, perjalanan selanjutnya adalah menggunakan mobil ke Pantai Lariti. Perjalanan ke Pantai Lariti melewati pemandangan yang indah. Dimulai dari pemandangan tambak ikan bandeng di pinggiran Bima. Tambak-tambak ikan itu tidak jauh dari pinggir pantai sehingga selain bisa melihat tambak ikan juga bisa melihat pantai.

Perjalanan ke Pantai Lariti juga melintasi area pacuan kuda. Pacuan kuda biasa dilaksanakan pada hari-hari besar. Pacuan kuda ini nampaknya sudah menjadi budaya sehingga patut dilestarikan oleh masyarakat Bima. Selain itu, acara pacuan kuda ini bisa menarik wisatawan datang ke Bima.

Jika kebetulan sudah masuk waktu shalat, kita bisa melaksanakan shalat di Masjid Terapung Kota Bima. Masjid ini dibangun di bibir pantai sehingga saat shalat kita bisa menikmati semilir angin pantai menyapa tubuh kita.



Perjalanan ke Pantai Lariti juga melewati daerah bernama Wawo (Puncak). Di daerah ini kita bisa melihat monyet-monyet yang berdiri di pinggir jalan. Monyet-monyet ini akan menghampiri kita jika kita berhenti dan memberikan makanan kepada mereka. Monyet-monyet liar ini akan jinak dan antusias jika kita memberikan makanan kepada mereka.

Kita juga bisa melihat pemandangan pertanian padi dan bawang merah. Namun, saya lebih banyak melihat tanaman bawang merah dibandingkan padi. Bawang merah menjadi komoditas utama pertanian masyarakat di sepanjang jalan ke Pantai Lariti. Menurut warga, jika harga bawang merah sedang bersahabat, petani bisa menghasilkan uang yang melimpah untuk 1 (satu) petak area tanaman bawang merah.

Terakhir, pemandangan yang bisa kita lihat adalah hamparan kekuningan atau gersang pepohonan di bukit-bukit sepanjang perjalanan ke Pantai Lariti. Pohon-pohon berwarna kuning dikarenakan sedang musim kemarau. Menurut warga, jika sedang musim hujan, pepohonan tersebut akan berubah menjadi hijau.

Pantai Lariti
Saya sampai di Pantai Lariti sekitar pukul 03.00 WITA. Pantai Lariti memiliki ciri khas berupa pulau di tengahnya. Saya termasuk orang yang beruntung karena saat saya sampai ke Pantai Lariti kondisi air laut sedang surut sehingga “jalan” terhampar luas ke pulau. Jika air laut sedang pasang, maka kita tidak bisa ke pulau. Kita hanya bisa memandang pulau karang dari kejauhan tanpa bisa menghampirinya. Dengan demikian, wisatawan harus rebutan jalan dengan waktu ke Pantai Lariti.


Di sekitar Pantai Lariti sebenarnya terdapat beberapa pulau karang. Namun yang bisa dikunjungi langsung oleh wisatawan dengan berjalan kaki ada 2 (dua). Satu berukuran kecil dan satunya lagi besar. Pulau yang berukuran besar lebih ramai bila dibandingkan pulau yang berukuran kecil. Sama halnya dengan pulau yang besar, untuk menuju pulau yang berukuran kecil kita melewati “jalan” yang dinamakan “Tongkat Nabi Musa”. Kurang ramainya pulau kecil ini agaknya disebabkan posisinya yang lebih jauh dari parkiran kendaraan di Pantai Lariti.






Plang Pantai Lariti terletak di pulau yang besar. Plang berwarna putih tersebut nampak dengan jelas dari kejauhan. Dari plang tersebut tertulis Kementerian Kelautan dan Perikanan Bima. Dengan demikian, saya menduga yang membangun atau membuat plang tersebut adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan Bima. Saya tidak paham kenapa bukan Kementerian Pariwisata yang membangun atau membuat plang tersebut.

Dari Pantai Lariti ini kita bisa melihat birunya lautan. Selain itu, pasir putih yang menjadi jalan ke pulau besar juga ikut mempercantik Pantai Lariti. Di pulau besar ini, selain pepohonan kita bisa melihat batu-batu karang. Kebetulan saat saya ke pulau ini, di seberang pulau ada nelayan yang sedang menangkap ikan. Saya melihat nelayan tersebut menangkap ikan dengan menggunakan jaring. Mereka tidak menggunakan perahu tapi langsung berjalan menguraikan jaringnya. Hal itu dapat dilakukan karena kondisi air laut sedang surut sehingga permukaan air laut menjadi dangkal. Menurut warga ikan di sekitar Pantai Lariti ini cukup melimpah sehingga 1 (satu) ember ikan Baronang bisa dibeli dengan harga Rp50.000 saja.

Di berbagai bagian atau pojok Pantai Lariti bisa digunakan untuk berfoto ria. Hal itu dikarenakan di mana pun posisi yang ada di Pantai Lariti pemandangan akan nampak dengan indah. Dengan demikian, wisatawan bebas mengambil posisi di mana saja.

Di pinggir pantai terdapat pondok-pondok yang dapat digunakan wisatawan untuk bersantai. Pondok itu juga bisa digunakan wisatawan untuk menyantap makanan. Namun demikian, jumlah pondok di Pantai Lariti masih terbatas sehingga kemungkinan tidak semua wisatawan bisa menggunakannya.

Pemerintah daerah harus mendukung perkembangan kawasan wisata ini agar wisatawan dapat berkunjung dengan nyaman. Selain sosialisasi yang massif, berbagai fasilitas pendukung juga perlu dibangun dan dikembangkan. Misalnya saat saya datang ke pantai ini kondisi toilet masih di luar standar tempat wisata. Jumlah toilet pun masih kurang banyak. Tempat ibadah (musholla) sudah ada, tapi tempat mengambil wudhu masih minim. Jumlah pondok pun kiranya masih perlu ditambah.

Saya beranjak pulang dari Pantai Lariti setelah hari gelap atau beranjak malam. Saat itu, jalan menuju ke pulau besar sudah tertutup air laut. Perlu sampai esok hari agar air laut membukakan kembali jalannya ke pulau tersebut. Semoga ke depan wisata Pantai Lariti semakin ramai dan maju.[]

Posting Komentar

0 Komentar