Shalat Idul Adha tahun 1441 H jatuh pada Jumat, 31 Juli 2020. Shalat Idul Adha harus dilakukan di tengah pandemi Covid-19 yang masih terus mengganas dan jumlah kasus positif masih terus meningkat. Berdasarkan data dari www.covid19.go.id jumlah orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 sampai dengan tulisan ini dibuat adalah 109.936, dalam perawatan 36.824, sembuh 67.919, meninggal 5.193. Provinsi dengan jumlah kasus terbesar adalah Jawa Timur sebesar 22.089, DKI Jakarta 21.399, dan Jawa Tengah 9.516.
Data di atas menunjukkan tempat di mana saya melaksanakan Shalat Idul Adha, yaitu DKI Jakarta berada pada posisi kedua. DKI Jakarta pada awalnya menjadi episentrum penyebaran Covid-19. Berbagai upaya—selain lockdown—dilakukan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta agar laju penularan Covid-19 dapat berhenti. Upaya itu sedikit membuahkan hasil dengan bergesernya jumlah kasus di DKI Jakarta menjadi kedua, setelah Jawa Timur. Meskipun harus diakui bahwa jumlah kasus yang ada di ibu kota masih besar.
Dengan jumlah
kasus yang masih besar dan masih cenderung meningkat, pemerintah memberikan
izin dilaksanakannya Shalat Idul Adha berjamaah di masjid-masjid. Hal ini
berbeda dengan kondisi saat Shalat Idul Fitri 1441 H. Pada masa itu, Shalat
Idul Fitri tidak diizinkan dilaksanakan di masjid sehingga masyarakat melakukan
Shalat Idul Fitri di rumah masing-masing.
Pemerintah memberikan izin pelaksanaan Shalat Idul Adha di masjid atau di lapangan namun dengan tetap memerhatikan protokol kesehatan. Surat Edaran Menteri Agama Nomor SE 18 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Shalat Idul Adha dan Penyembelihan Hewan Kurban Tahun 1441 H/2020 M Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Covid-19 menjelaskan secara rinci protokol kesehatan yang harus dilaksanakan masyarakat. Surat Edaran itu di antaranya menyebutkan bahwa jamaah harus dicek suhunya pada saat akan masuk, jarak minimal antar jamaah 1 meter, tidak menyediakan kotak sumbangan/sedekah yang digeser antar jamaah, dan ketentuan-ketentuan lainnya.
Pada saat
saya melaksanakan Shalat Idul Adha protokol kesehatan itu diterapkan oleh
panitia. Saat masuk ke area shalat, setiap jamaah diperiksa suhu tubuhnya dengan
thermo gun. Jamaah laki-laki diperiksa oleh panitia laki-laki, jamaah
perempuan diperiksa oleh panitia perempuan. Selanjutnya, saya masuk ke lapangan
sepak bola yang biasa menjadi tempat pelaksanaan shalat.
Dikarenakan
pelaksanaan shalat bertempat di lapangan maka protokol jarak minimal antar
jamaah dengan mudah dapat diterapkan. Lapangan sepak bola yang luas memudahkan
pengaturan jarak minimal 1 meter. Bahkan, meskipun sudah diterapkan jarak
minimal 1 meter, masih banyak area lapangan yang kosong atau tidak ditempati
oleh jamaah.
Protokol
kesehatan juga terlihat saat sumbangan/sedekah dilakukan. Panitia turun
langsung dengan membawa kantong-kantong peletakan uang. Sebenarnya, hal ini
bukanlah hal baru. Selama saya shalat di tempat ini, sebelum pelaksanaan shalat
selalu sumbangan/sedekah dilakukan dengan cara yang sama, yaitu panitia turun
langsung. Artinya, peniadaan kotak sumbangan/sedekah tidak hanya pada masa pandemi
Covid-19, tapi di masa normal pun hal ini sudah dilakukan.
Namun, meskipun pemerintah sudah mengizinkan Shalat Idul Adha di masjid atau lapangan, masih ada orang yang tidak mau pergi. Dengan berbagai alasan, mereka tetap bersikukuh shalat di rumah saja. Pada prinsipnya selama syarat dan rukun pelaksanaan shalat sudah dilaksanan, apalagi pada masa pandemi, shalat di mana saja sah. Yang terpenting adalah melaksanakan shalat.
Shalat Idul
Adha kali ini juga dicirikhaskan dengan jamaah yang memakai masker dan membawa
sajadah masing-masing. Sepanjang penglihatan dan pengamatan saya, tidak ada
jamaah yang tidak memakai masker dan tidak membawa sajadah. Hal ini tentunya
patut diacungi jempol karena masyarakat sudah memiliki kesadaran dalam
pelaksanaan protokol kesehatan. Dengan adanya kesadaran ini, kita semua
berharap dan berdoa agar wabah Covid-19 ini segera berakhir sehingga kita semua
bisa menjalani kehidupan normal sebagaimana biasanya.
0 Komentar