Syariat, Thariqat, dan Hakikat

Orang-orang bijak beragama sering mengungkapkan kata syariat, thariqat, dan hakikat. Menurut mereka manusia bisa menggapai "hakikat" kesempurnaan dan maqam kedekatan kepada Tuhan dengan melewati "tarikat" yang merupakan batin "syariat". Untuk memperjelas apa makna ketiga kata tersebut akan dikemukakan pendapat Azizuddin Nasafi, salah seorang ahli bijak yang hidup pada pertengahan abad 7 M. Dalam kitabnya yang berjudul Insanul Kamil  dia menyatakan bahwa syariat adalah perkataan para nabi dan tarikat adalah perbuatan para nabi serta hakikat adalah penglihatan para nabi.

          Kumpulan ajaran-ajaran Ilahi dan penjelasan terperinci para nabi serta penafsiran para ulama dikenal dengan nama "syariat". Manusia yang melaksanakan syariat adalah para musafir yang sedang berjalan ke arah Tuhan yang pada satu sisi manusia sebagai pesuluk dan pada sisi lain suluknya tidak lain adalah ajaran-ajaran Ilahi atau syariat. Dengan demikian, seorang hamba yang menerima apa yang disabdakan oleh nabi dan rasul dikategorikan sebagai ahli syariat.

Adapun hamba yang terus berjalan di atas jalan ini (syariat) dan istiqomah dalam pengamalan dan keyakinannya kepada syariat maka akan semakin mendekatkannya kepada tujuan penciptaannya. Sebuah cerita dari Abdullah bin Umar ra seperti dinukil oleh Ibnu Katsir memberikan kesaksian tentang kesungguhan dan istiqomah Utsman ibn Affan dalam menjalankan syariat. Menurut kesaksian Ibnu Umar, Utsman termasuk sahabat yang paling banyak bacaan Al-Qur'an dan sembahyang malamnya. Sampai Abu Ubaidah meriwayatkan bahwa Utsman terkadang mengkhatamkan bacaan Al-Qur'an dalam satu rakaat dari sembahyang malamnya. Sungguh satu tingkat kewaspadaan hamba Allah yang tertinggi bahwa ia senantiasa khawatir dan cemas akan murka dan ancaman adzab Allah SWT dengan terus meningkatkan kualitas dan kuantitas pengabdian kepada-Nya. Di samping tetap mengharapkan rahmat Allah melalui amal sholehnya.

Syariat tidak mengajarkan metode-metode pengamalan sempurna karena syariat hanya berupa hukum atau aturan. Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Tariqatullah (jalan kepada Allah) yang kemudian disebut dengan thariqat. Dengan kata lain thariqat adalah keimanan dan pengamalan sempurna kepada syariat. Kalau ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak dilaksanakan dengan metode yang benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Sembahyang hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerak kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan sembahyang namun hati berkelana kemana-mana. Sepanjang sembahyang akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani.

Seorang hamba Allah dalam mencari “kesempurnaan” pertama-tama harus menuntut ilmu syariat yang merupakan kewajibannya dan juga mengerjakan amal tarikat yang juga merupakan kemestiannya sehingga ia bisa mendapatkan cahaya-cahaya hakikat. Tentunya kita masih ingat mengenai cerita Nabi Musa dengan Nabi Khidir yang pada akhir perjumpaan mereka membangun sebuah rumah untuk anak yatim piatu untuk menjaga harta berupa emas yang tersimpan dalam rumah itu karena kalau rumah tersebut dibiarkan ambruk maka emasnya akan dicuri oleh perampok. Harta tersebut tidak lain adalah hakikat yang sangat tinggi nilainya. Sementara itu, proses pembangunan rumah tersebut yang dimaksud dengan thariqat dan rumah yang dibangun itu adalah syariat.



Ibadah haji yang merupakan puncak ibadah karena ia diundang oleh Allah SWT. Seharusnya di sana berjumpa dengan yang mengundang yaitu Pemilik Ka’bah, pemilik dunia akhirat, Tuhan seru sekalian alam. Tapi yang terjadi yang dijumpai di sana hanya berupa dinding dinding batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat Wukuf di Arafah itu adalah proses menunggu, menunggu Dia yang dirindui oleh sekalian hamba untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia, namun yang ditunggu tak pernah muncul. Di sini sebenarnya letak kekeliruan kaum muslim di seluruh dunia, terlalu disibukkan aturan syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dengan benar yaitu thariqat.

Ketika thariqat dilupakan bahkan ada sebagian orang menganggap ilmu warisan nabi ini sebagai bid’ah maka pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari sembahyang itu bukan pahala tapi ancaman Neraka Wail. Harus di ingat bawah “Lalai” yang di maksud di sana bukan sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin dalam sembahyang bisa mengingat Allah kalau di luar sembahyang tidak dilatih berzikir (mengingat) Allah? Bagaimana mungkin seorang bisa berzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al ‘Ala ayat 14-15, yang artinya Beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian menegakkan sembahyang.

Untuk melaksanakan syariat Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang tepat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilakukan Rasulullah SAW sehingga hasilnya akan sama. Sebagai contoh sederhana, Allah memerintahkan kita untuk sembahyang, kemudian Nabi melaksanakannya, para sahabat mengikuti. Nabi mengatakan, “Sembahyanglah kalian seperti aku sembahyang”. Tata cara sembahyang Nabi yang disaksikan oleh sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh ulama, yang kemudian kita kenal sebagai rukun sembahyang yang 13 perkara.

Dengan memperhatikan kualitas dan kuantitas seorang hamba maka ia akan sampai pada tujuannya sendiri dan dengan langkah-langkah selanjutnya tujuan ini adalah memperluas wilayah penyingkapan hakikat-hakikat dan memperdalam kedekatan kepada Tuhan. Dengan demikian ia akan sampai pada derajat yang dinamakan dengan "hakikat". Artinya jika seorang hamba mampu menyaksikan apa-apa yang disaksikan oleh para nabi dan rasul maka ia dianggap sebagai ahli hakikat.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa sebenarnya ketiga kata tersebut bukanlah sesuatu yang bertentangan. Ketiga kata tersebut adalah jalan yang harus dilalui oleh seorang hamba jika ingin mendapatkan “kesempurnaan” di sisi Allah. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa syariat itu bagaikan perahu, thariqat bagaikan lautan, dan hakikat itu mutiara yang sangat mahal harganya. Perahu, laut dan mutiara adalah sebuah jalinan yang tak terpisahkan. Perahu tanpa lautan tiadalah berguna. Lautan tanpa mutiara hanyalah air yang bergelora. Nilai semuanya adalah mutiara yang mahal harganya. Untuk memperoleh mutiara seorang harus naik perahu ke tengah laut dan menyelam ke dasarnya.

Menurut Haidar Amuli, ketiga kata tersebut memiliki nama-nama yang berbeda hanya menceritakan satu kenyataan dan realitas, tidak pada hakikat. Dia mengungkapkan, “ketika perkara ini menjadi kenyataan, maka ketahuilah bahwa "syariat" adalah sebuah nama yang ditentukan untuk jalan-jalan Ilahi yang mana memiliki rukun-rukun, cabang-cabang, keringanan-keringanan, motivasi-motivasi, niat-niat, kebaikan-kebaikan, dan kesempurnaan-kesempurnaan. Adapun "thariqat" adalah mengambil yang terbaik dan yang paling kuat di antara jalan-jalan Ilahi itu, dan setiap metode dan cara yang paling baik, paling kuat, paling hati-hati, dan paling sempurna yang dijalani oleh manusia dinamakan dengan "thariqat", baik yang bersifat perkataan, perbuatan, sifat, dan hâl. Sementara itu "hakikat" adalah pembuktian dan penegasan sesuatu dengan cara penyingkapan hati dan penyaksian intuitif.”

Imam Malik berkata, “Siapa saja bersyariat tanpa berhakikat, niscaya ia akan menjadi fasik. Sedang yang berhakikat tanpa bersyariat, niscaya ia akan menjadi zindik. Siapa saja menghimpun keduanya (syariat dan hakikat), ia benar-benar telah berhakikat.”  Dengan kata lain Imam Malik mengungkapkan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syariat dan hakikat secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya.[]

Posting Komentar

0 Komentar