Pada masa Rasulullah protes atau pernyataan ketidaksetujuan terhadap
suatu permasalahan bukan lah suatu yang dilarang. Rasulullah memberikan
kesempatan kepada para sahabat dan kaum muslim untuk mengemukakan pendapatnya
secara leluasa. Jika ada pendapat sahabat yang benar maka Rasulullah tidak akan
ragu menerimanya. Sebaliknya, jika keliru maka Rasulullah akan menjelaskan
kebenarannya kepada para sahabat dan kaum muslim.
Syekh Ragip Frager, dalam bukunya yang berjudul Obrolan Sufi, menyampaikan
cerita tentang Bilal al-Habsyi, sang muazin pertama. Disebutkan di dalam
bukunya bahwa beberapa muslim melakukan protes karena Bilal salah melafalkan
azan. Dalam protes tersebut, kaum muslim yang berkebangsaan Arab berujar, “Ia
melafalkan seruan azan dengan buruk. Maknanya jadi rusak. Kita butuh muazin
yang dapat melafalkan seruan untuk bershalat secara benar.”
Pada saat mendengar protes dari kaum muslim tersebut apakah Rasulullah
marah? Jawabannya tidak. Protes yang disampaikan oleh kaum muslim itu dijawab
Rasulullah dengan berkata, “Kalian tidak benar-benar mengetahui apa yang kalian
katakan.” Namun, mereka yang melakukan protes tetap bersikukuh bahwa seruan
azan seharusnya dilafalkan secara benar. Akhirnya, Rasulullah setuju dan
bersabda, “Kalau itu yang kalian inginkan, suruh seseorang untuk menjadi
muazin.” Keesokan harinya salah seorang Arab muslim menyerukan azan.
Kemudian, Syekh Ragip menyebutkan di dalam bukunya itu bahwa pada malam
harinya semua orang di Madinah memimpikan hal yang sama. Seorang malaikat
mendatangi mereka dan bertanya, “Mengapa kemarin kalian tidak ada yang
menjalankan shalat?” Mereka menjawab, “Tetapi kemarin kami menjalankan shalat.”
Sang malaikat berkata, “Kami tidak mendengar seruan azan. Jadi, kami kira tidak
ada seorang pun yang shalat kemarin.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Kalian
mengerti sekarang? Biarkan Bilal terus mengumandangkan azan. Allah mendengarkan
hatinya, bukan suaranya.”
Manfaat Protes
Cerita yang disampaikan oleh Syekh Ragip dalam bukunya menunjukkan bahwa
protes bukanlah hal yang dilarang oleh Rasulullah. Bahkan sekalipun protes itu
berkaitan dengan ibadah tetap didengar oleh Rasulullah.
Pada saat kaum muslim melakukan protes atas azan yang dikumandangkan oleh
Bilal, Rasulullah tidak langsung membantah kaum muslim, meskipun beliau tahu
hakikatnya. Pada saat itu, beliau tidak langsung menyatakan kesalahan pendapat
kaum muslim. Tapi, beliau membiarkan kaum muslim tahu sendiri tindakan yang
mereka lakukan itu tidak tepat.
Bagi Rasulullah protes, pernyataan ketidaksetujuan, dan lain-lain justru
akan memperkuat keislaman kaum muslim. Rasulullah tidak pernah merasa risih
atau marah dengan protes yang disampaikan oleh kaum muslim. Padahal, beliau
adalah pemimpin, utusan Allah, dan manusia paling mulia. Beliau tidak marah
keputusannya “mengangkat” Bilal sebagai muazin (penyeru azan) diprotes oleh
kaum muslim. Padahal tentunya keputusan beliau menunjuk Bilal sebagai muazin
sudah melalui berbagai pertimbangan yang matang. Dan tentunya sebagai seorang
Rasul setiap keputusan yang diambilnya tidak terlepas dari wahyu yang
diterimanya dari Allah.
Malah dengan penuh kesabaran Rasulullah menjawab protes yang disampaikan
oleh kaum muslim. Meskipun jawaban Rasulullah benar tapi beliau tidak menghukum
para pemrotes tersebut. Beliau hanya menjelaskan kebenaran keputusannya
menunjuk Bilal sebagai muazin.
Hakikat Azan
Protes kaum muslim terhadap azan yang dikumandangkan oleh Bilal didasari
pengetahuan kaum muslim saat itu bahwa kekeliruan dalam pelafalan azan
berakibat perubahan makna azan. Sebagaimana diketahui, azan adalah seruan untuk
mengajak orang melakukan shalat berjamaah. Azan memuat kalimat-kalimat suci
sehingga harus disampaikan dengan benar. Tidak boleh ada kekeliruan huruf dalam
melafalkan azan karena huruf yang berbeda akan melahirkan makna yang berbeda.
Dengan demikian, pelafalan azan harus benar. Begitulah keyakinan kaum muslim
yang melakukan protes.
Rasulullah mengetahui hakikat atau esensi dari sebuah ibadah. Dengan
jelas Rasul menyatakan bahwa Allah mendengar hati Bilal, bukan suaranya pada
saat azan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam azan adalah hati
seseorang yang menentukan. Sekeras apa pun suara azan jika hati yang
mengumandangkan azan tidak benar-benar mengumandangkan azan, maka seruan itu
tidak akan didengar oleh Allah. Akibatnya, orang-orang yang mendengarkan azan
tidak tergerak hatinya untuk melakukan shalat berjamaah.
Apakah kita melihat korelasi langsung antara azan yang keras dengan
banyaknya kaum muslim yang datang ke masjid melakukan shalat jamaah? Tidak
jarang kita melihat bahwa yang datang ke masjid justru orang yang tidak
mendengar azan. Mereka hanya tahu bahwa sudah masuk shalat sehingga mereka
pergi ke masjid. Sebaliknya, betapa kita melihat orang yang rumahnya dekat
masjid tapi tidak pernah shalat berjamaah ke masjid. Padahal tentunya orang
yang dekat masjid pasti mendengar kerasnya suara azan. Kiranya ini menjadi
penjelas bagi sabda Rasulullah, “Biarkan Bilal terus mengumandangkan azan.
Allah mendengarkan hatinya, bukan suaranya.” Wallahu a’lam []
0 Komentar